Bogor Times-Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai bulan-bulan dan hari-hari dalam kalender, para sahabat masih menghadapi tantangan dalam mencatat peristiwa secara tahunan. Kadang-kadang mereka tidak tahu tahun mana yang dimaksudkan ketika sebuah peristiwa atau dokumen tidak memiliki tanggal yang lengkap. Untuk mengatasi hal ini, mereka perlu menentukan titik awal suatu era yang bisa digunakan sebagai acuan.
Beberapa tokoh sejarah, seperti al-Shaʿbi dan al-Biruni, telah menunjukkan bahwa manusia selalu menggunakan peristiwa-peristiwa penting sebagai titik acuan dalam menetapkan era. Demikian pula, dalam budaya Arab pra-Islam, mereka menggunakan peristiwa-peristiwa seperti kematian Kaʿab ibn Luʾayy, Tahun Gajah (ʿAm al-Fil), dan Harb al-Fijar sebagai acuan waktu.
Dalam kronik sejarahnya, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, Imam Thabari menyatakan: Maymun bin Mihran menceritakan: Sebuah dokumen hukum untuk suatu perbuatan dikirim kepada ʿUmar yang tertulis bulan Sya’ban. ʿUmar bertanya: Apakah ini Syaʿban tahun lalu atau tahun yang akan datang? Kemudian Khalifah setelah Abu Bakar ini berkata kepada para sahabat: Mari kita tetapkan satu titik awal yang digunakan oleh masyarakat.
Kesepakatan Memilih Peristiwa Hijrah
Pada saat itu, ʿUmar dan para sahabatnya melakukan diskusi tentang bagaimana cara mencatat peristiwa-peristiwa tersebut. Mereka sepakat untuk mengadopsi cara penulisan tanggal yang digunakan oleh bangsa asing, yaitu dengan menuliskan “di bulan ini tahun ini”. Namun, muncul pertanyaan mengenai tahun mana yang harus dijadikan titik awal.
Beberapa orang menyarankan untuk menggunakan waktu wahyu pertama kepada Nabi Muhammad, sementara yang lain mengusulkan untuk menggunakan wafatnya Nabi sebagai titik awal. Setelah pembahasan yang panjang, akhirnya mereka sepakat untuk menggunakan hijrah sebagai awal era Islam. Dalam menentukan bulan awal, ada yang mengusulkan Ramadan, namun akhirnya, para sahabat dengan bulat setuju untuk memulai tahun dengan bulan Muharram.
Pada masa Kekhalifahan ʿUmar inilah para sahabat sepakat untuk menggunakan hijrah Nabi Muhammad sebagai titik awal era Islam. Hijrah ini memiliki makna yang mendalam, karena memisahkan kebenaran dari kesesatan. Dengan menetapkan hijrah sebagai titik awal, umat Muslim memiliki fondasi yang kuat untuk mengukur waktu dan mengidentifikasi diri mereka sebagai umat Islam.
Dengan demikian, kalender Islam bukan hanya sekadar alat pengukur waktu, tetapi juga lambang identitas dan warisan umat Muslim. Para sahabat Nabi telah memahami pentingnya menjaga ketertiban dan konsistensi dalam penggunaan kalender ini, sehingga memastikan bahwa perintah Allah dan Rasul-Nya tetap terjaga.
Hikmah di Balik Penamaan Hijriyah
Penamaan “hijriyah” diambil dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi. Hijrah ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah Islam yang menandai perpindahan Nabi Saw dan para sahabatnya ke Madinah untuk membentuk sebuah negara Islam yang baru. Keputusan untuk menggunakan hijrah sebagai titik awal era dalam perhitungan tahun Hijriyah adalah hasil dari pertimbangan dan kesepakatan para sahabat setelah wafatnya Nabi Muhammad.
Peristiwa hijrah memiliki makna yang mendalam bagi umat Muslim. Selain menjadi pemisah antara masa kehidupan Nabi Muhammad di Mekkah dan di Madinah, hijrah juga merupakan awal dari pembentukan komunitas Muslim yang kuat dan menandai langkah awal dalam membangun fondasi Islam sebagai agama dan sistem kehidupan yang komprehensif.
Penggunaan kalender Hijriyah, yang dimulai dari peristiwa hijrah, adalah salah satu cara bagi umat Muslim untuk terus terhubung dengan akar sejarah dan identitas mereka sebagai umat Islam. Ini juga mengingatkan mereka akan nilai-nilai dan ajaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad selama periode hijrah dan selanjutnya.
Dengan mengetahui dan memahami sejarah perhitungan tahun Hijriyah yang berakar dari peristiwa hijrah, umat Muslim dapat menghargai dan merayakan perayaan-perayaan keagamaan dalam konteks yang lebih mendalam. Selain itu, mereka juga diingatkan akan komitmen untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad dan para sahabat dalam menjaga keutuhan umat Muslim dan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.****