Bogor Times- Setiap menjelang bulan Ramadhan, kita selalu disuguhi fenomena perbedaan pendapat terkait penetapan awal puasa. Ironisnya, perbedaan ini tidak jarang menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat berupa saling ejek dan saling klaim bahwa kelompoknya benar, sedangkan kelompok lain salah.
Bulan yang seharusnya dijadikan momen peningkatan ibadah dan amal saleh justu dinodai oleh saling cemooh antarkelompok masyarakat. Kementerian Agama sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dalam penetapan awal puasa, telah berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut dengan menyelenggarakan sidang itsbat yang dihadiri oleh para ulama, ilmuwan, pakar hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai organisasi massa yang ada di Indonesia.
Hanya saja, terkadang ada kelompok yang tidak mengikuti hasil sidang dengan alasan mereka telah memiliki metode penetapan sendiri. Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui metode-metode yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan awal bulan Ramadhan.
Baca Juga: Didorong Isi Kursi Pimpinan DPRD Kota Bogor Periode 2024 – 2029, Zaenal Abidin: Entar Dulu.
Baca Juga: Berbeda-beda dalam Penetapan Awal Ramadhan, Simak Alasannya
Baca Juga: Cara Memberi Hadiah ke Anak agar Tak Berdampak Negatifkan
Dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, para ulama berbeda pendapat. Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi 30 hari. Mereka berpegangan pada firman Allah subhanahu wa ta'ala dan Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Baca Juga: Falakiyah NU Soroti 58 Titik Pantau Hilal
Baca Juga: Pancaroba, Kabupaten Bogor Rawan DBD
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا غُبِّيَ عَلَيْكُم dan فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, hadits no. 1776).
Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal. Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.
Artikel Terkait
Inilah Keutamaan Puasa di Bulan Ramadhan
Penjelasan Kitab Kuning
Cara Beri Hadiah ke Anak agar Tak Berdampak Negatifkan
Olah Raga Memanah adalah Sunah? Simak Fakta Hukumnya
Tak Sadarkan Diri, Lansia Berinisial GA Meninggal Dadakan di KRL
Kursi Terakhir Dihantui Isu Gelembung Suara, Simak Hasil Final Pileg DPR RI Dapil Jawabarat 5
Falakiyah NU Soroti 58 Titik Pantau Hilal
Berbeda-beda dalam Penetapan Awal Ramadhan, Simak Alasannya
Inilah Beberapa yang Membatalkan Puasa
Didorong Isi Kursi Pimpinan DPRD Kota Bogor Periode 2024 – 2029, Zaenal Abidin: Entar Dulu.