Bogor Times- Imam Al-Ghazali di dalam Kitab Ihya Ulumiddin mengutip cerita Wahab bin Munabbih, salah seorang ulama di zaman Tabi'in, perihal keutamaan menahan marah dan mengendalikan diri ketika marah. Wahab bin Munabbih yang juga pakar sejarah itu menceritakan suatu zaman tersebut seorang rahib yang tidak lepas dari rumah ibadah. Ia sangat tekun beribadah kepada Allah di rumah ibadah tersebut.
Pendeta tersebut merupakan pemuka agama yang sangat terkenal sebagai orang yang taat beragama di masyarakat. Setan kemudian mendekatinya. Setan ingin jembatan dan menjerumuskan rahib tersebut dari jalan ibadahnya. Ia mencoba berbagai cara. Ia pun kemudian gagal. Setan tidak mampu menggelincirkan rahib tersebut karena ketaatannya yang luar biasa. Setan kemudian menyerah. Ia mendatangi rahib tersebut dengan jalan yang sopan dan terang-terangan. Ia kemudian menutup pintu rumah ibadah rahib dan memanggilnya dari luar.
“Wahai rahib, tolong bukakan pintu,” kata setan. Ketika itu tidak ada jawaban. Tetapi setan dengan niat baik kembali memukul pintunya. “Wahai rahib, tolong bukakan pintu, jika kupergi maka kau akan menyesal,” kata setan di luar. Rahib pun tidak mempedulikan suara tamunya. “Aku adalah Al-Masih,” kata setan.
“Kalau kau Al-Masih, apa yang harus dilakukan? Bukankah Al-Masih memerintahkan kami untuk tekun beribadah dan menjanjikan keselamatan kami di Hari Kiamat? Kalau kau mendatangi kami hari ini untuk melarang selain itu, kami tidak akan menerimanya,” jawab rahib dari dalam. “Aku adalah setan, aku datang untuk melayani pertanyaanmu. Bertanyalah. Apa pun pertanyaanmu, akan kujawab,” kata setan dengan tulus. “Tidak, saya tidak ada pertanyaan untukmu,” jawab rahib. Wahab bin Munabbih mengatakan, setan itu pun kemudian berganti badan untuk meninggalkan pekarangan rumah ibadah tersebut. Tetapi beberapa langkah mulai meninggalkan pintu, dia mendengar suara pintu dan segera menghentikan langkahnya.
“Tunggu, coba kau dengar,” kata suara dari dalam rumah ibadah tersebut. “Ya,” jawab setan dengan gembiranya. “Kabari aku, akhlak apa dari anak Adam yang membantumu dalam menaklukkan mereka?” “Ketika mereka menjadi keras karena marah. Ketika manusia menjadi keras seperti besi, maka kami justru dengan mudah mempermainkan hati dan pikirannya seperti anak-anak mempermainkan bola,” jawab setan.
*Suatu hari Dzulqarnain bercerita bahwa ia bertemu malaikat. Kepada malaikat itu, ia meminta mengajarkan sebuah ilmu yang dapat menambah ilmu dan keyakinannya kepada Allah. Malaikat itu berpesan, “Jangan marah. Setan paling mudah mengendalikan manusia ketika mereka marah. Tahan kemarahan dan dendalah dengan tenang. Jangan juga tergesa-gesa dalam bertindak atau mengambil putusan. Ketika tergesa-gesa, kau akan kehilangan bagianmu. Bersikaplah sebagai orang yang ringan dan lembut kepada kerabat maupun orang lain. Jangan kau hukum arogan dan keras.”
Demikian cerita Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz III, halaman 171, yang dikutip dari Wahab bin Munabbih perihal keutamaan mengendalikan diri ketika marah. ****