Bogor Times-KH Ahsin Sakho Muhammad, ia adalah seorang pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Qur'an. Dia lulus sebagai doktor dari sebuah universitas di Madinah dengan cumlaude, beliau adalah seorang pengasuh Pondok Pesantren Dar Al Qur’an dan sebagai Dewan Penasehat Pondok Pesantren Dar Al Tauhid di Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, untuk mencetak para penghafal Al-Qur'an dan para generasi qur’ani.
Bagaimana perasaan Anda jika di malam hari yang gelap, dalam perjalanan melewati gurun yang tandus, sepi bahkan kosong, kendaraan Anda tiba-tiba mogok? Takut, tegang, cemas, tentu menyelimuti perasaan Anda. Bagaimana pula jika tak lama kemudian ada orang yang menolong, membawa Anda dan mobil Anda ke bengkel tanpa mengharapkan apa-apa? Tentu, tak terbayangkan perasaan Anda: lega dan gembira.
Itu hanya salah satu dari sekian banyak kemudahan yang dialami oleh Kiai Ahsin. Dari berbagai pengalaman hidupnya, ia semakin meyakini, pertolongan Allah akan hadir bagi mereka yang senantiasa menjaga hubungan dengan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
“Barangsiapa yang selalu mengingat Allah dalam keadaan senang, Allah akan mengingatnya ketika ia dalam keadaan susah,” ujarnya mengutip sebuah hadits.
Setiap Ahad pagi ia menyelenggarakan pengajian qiraat warasy, yang diikuti para guru Al-Qur'an dari wilayah Cirebon dan sekitarnya. Sebelumnya, materi yang diberikan mencakup semua qiraat mutawatir yang dikenal sebagai qiraat sab`ah. Tetapi karena dipandang terlalu berat, dan menyulitkan mereka yang belum memiliki bekal yang memadai, pengajian ini lalu difokuskan pada salah satu qiraat saja. Dan itu adalah qiraat warasy.
Di masa sekarang, model pengajian yang memberikan materi pendalaman berbagai macam qiraat seperti ini terbilang langka. Mereka yang berminat mempelajarinya pun tidak banyak. Padahal, materi ini sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga cara membaca Al-Qur'an yang tepat. Karena itu, para peserta merasakan manfaatnya – yang kemudian mereka kembangkan di tempat masing-masing.
Berkembangnya pengajian mengenai qiraat dan pendalaman ilmu-ilmu Al-Qur'an merupakan salah satu obsesinya yang terus diupayakan secara serius. Menurutnya, menjaga kemurnian Al-Qur'an merupakan tugas mulia. Segala sesuatu yang dapat merusak atau setidaknya mengganggu kemurnian Al-Qur'an harus dicegah. Karenanya, peredaran buku-buku Yasin Fadhilah yang cara penulisannya tidak membedakan mana bagian yang merupakan ayat Al-Qur'an dan mana yang bukan, dikecamnya.
Rektor IIQ
”Mestinya Yasin Fadhilah seperti itu ditarik dari peredaran, kemudian direvisi. Penerbit selama ini sembrono mencampuradukkan dan menyamakan ayat Al-Qur'an dan doa. Seharusnya dibedakan penulisannya, agar jelas mana yang Al-Qur'an dan mana yang bukan,” katanya.
Menyinggung metode pengajaran Al-Qur'an, menurutnya selama ini sudah berjalan baik. Selain itu, banyak pesantren yang membuka program menghafal Al-Qur'an. Kelemahannya, para santri berhenti hanya pada menghafal Al-Qur'an, tidak berusaha mengembangkan kemampuannya dengan mendalami ilmu Al-Qur'an, termasuk berbagai qiraatnya.
Dia memang pakar dalam bidang qiraat dan ilmu-ilmu Al-Qur'an. Itu sebabnya ia lalu diserahi berbagai tugas penting. Sejak 2 November 2005, ia menjabat rektor Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ), Jakarta, perguruan tinggi yang mencetak para ahli Al-Qur'an. Posisi ini sebelumnya diduduki tokoh-tokoh yang terkenal pakar di bidang ilmu-ilmu Al-Qur'an, seperti Prof. KH Ali Yafie (2001-2005), sementara rektor sejak IIQ berdiri adalah Prof. KH Ibrahim Hosen (1977-2001).
Bukan itu saja tugas yang diemban pria yang tenang, santun, dan ramah ini. Kini ia juga dipercaya sebagai ketua Tim Revisi Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an Departemen Agama, yang beranggotakan beberapa pakar ilmu Al-Qur'an, seperti Prof. Dr. Hj Huzaimah T. Yanggo, Prof. Dr. H Hamdani Anwar, Prof. H Ali Mustafa Ya’qub (almarhum), Dr. Hj Faizah Ali Syibromalisi, dan beberapa pakar lain. Tim ini telah bekerja sejak 2004 dan diperkirakan akan menuntaskan tugas mereka pada 2007.
Keahliannya dalam ilmu Al-Qur'an membawa berkah tersendiri. Selama beberapa tahun belakangan, setiap Ramadhan ia diundang ke Inggris untuk menjadi imam shalat Tarawih di London dan kota-kota lainnya. Meski begitu ia tetap tinggal bersama keluarga di Cirebon. Setiap minggu ia bolak-balik Jakarta-Cirebon. Senin sampai Kamis ia di Jakarta, hari-hari lain ia habiskan di Cirebon untuk mengajar di pesantren.
Putra pasangan KH Muhammad dan Nyi Umi Salamah ini dilahirkan di Arjawinangun, Cirebon, pada 21 Februari 1956. Sejak kecil ia telah menunjukkan bakatnya dalam ilmu-ilmu Al-Qur'an. Ketika masih duduk di kelas IV SD dan belum lagi dikhitan, ia telah hafal tiga juz Al-Qur'an, yakni juz 28, 29, dan 30. Karena itu kakeknya dari pihak ibu, KH Syathori, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun, sangat menyayanginya.
Lingkungan Religius
”Ketika saya dikhitan, beliau yang mengurusi semuanya. Saya juga diberi pakaian yang berbeda dari yang lain. Beliau memang sangat berkeinginan, di antara anak-anak atau cucu-cucunya banyak yang hafal Al-Qur'an. Karena itu, bila ada cucu yang datang dan mencium tangannya, selalu ditepuk-tepuk dadanya sambil berucap.
‘Nanti, di sini ada Al-Qur'an, ada hadits, ada Alfiyah (salah satu kitab standar ilmu nahwu)’,” tuturnya mengenang sang kakek.