keagamaan

Simak Hukum Sikat Gigil Siang Bolong saat Puasa Ramadhan

Senin, 3 April 2023 | 01:51 WIB
Ilustrasi Sikat Gigi (Pixabay20)

Bogor Times- Kita tahu bahwa kesunnahan tidak bersiwak di siang hari bulan Ramadhan adalah hukum yang berdasar. Dalilnya sangat jelas dan shahih. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa Islam getol menyuarakan kebersihan, keindahan lingkungan, serta kenyamanan sosial. Itu juga dengan dalil-dalil yang tak kalah kuatnya. Jadi, saya menduga—walau tidak berdasar—mungkin kami dan para bocah lainnya yang senang saling menjaili dengan bau mulut, merasa risih dengan kesunnahan membiarkan bau mulut tersebut.

Akhirnya, diekspresikan melalui saling menjaili.   Artinya, persoalan ini tampak kontradiktif. Satu sisi, kita diperintah menjadi pribadi yang sehat, bersih, dan harum. Di sisi lain, kita juga dianjurkan—khususnya bagi yang puasa—membiarkan mulutnya dalam keadaan bau dan tidak bersih. Hal serupa, saat kita didorong untuk menjadi pribadi yang apik sosial, kita juga secara tidak langsung disuruh merusak kenyamanan sosial itu.

Bagaimana tidak, bila di tengah siang bulan Ramadhan, misalnya, saat menjalankan sunnah membiarkan bau mulut, kita juga meregup fadhilah shalat berjamaah. Sadar atau tidak, harus diakui bahwa bau mulut peserta shalat berjamaah, sangat mengganggu jamaah lainnya.

Baca Juga: Pemudi Fatayat Berbagi Takjil

Padahal, bulan Ramadhan tidak hanya soal peningkatan kualitas spiritual tapi juga sosial.   Oleh karena itu, baik sekali bila kita mengkaji ihwal hukum bersiwak ini. Khususnya bagi yang berpuasa. Dalam literatur fiqih, memang terjadi silang pendapat di kalangan ulama. Jangankan lintas mazhab, pada internal mazhab Syafi’i saja ramai membahas ini.   Menurut Imam Syafi’i sendiri, membiarkan bau mulut saat berpuasa dimulai sejak tergelincir matahari hingga terbenam merupakan sebuah kesunnahan.

Bahkan ada keistimewaan (fadhilah) tersendiri daripada menghilangkannya.

Baca Juga: Doa Berlindung dari Perngaruh Teman yang Suka Tauran

Berbeda dengan sebagian ulama Syafi’i sentris, seperti Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam as-Sulami (660 H), misalnya. Ia justru berpendapat, lebih afdal membersihkan mulut daripada membiarkannya dalam keadaan bau. Bila diamati, sebenarnya para ulama kita tidak lagi membincangkan mana yang baik dan yang tidak baik.

Tetapi, membahas mana yang lebih baik di antara dua hal baik tersebut. Mengingat, keduanya mengantongi dalil dan argumentasi yang sama-sama kuat.

  Dalam hal ini, baik Imam Syafi’i maupun Syekh ‘Izzuddin, senapas untuk berdalil dengan hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yang berbunyi:

  لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك Artinya, “Sungguh bau mulut orang berpuasa, lebih harum di sisi Allah daripada aroma misk (sebutlah kasturi)” (HR al-Bukhari dan Muslim).   Mereka juga sepakat bahwa maksud kata ‘athyabu’ dalam hadits bukanlah harum mewangi secara indrawi. Tetapi tentang apresiasi besar Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang yang rela membiarkan bau napasnya saat puasa. Bedanya, terletak pada logika hukum dan argumentasi yang ditawarkan.  

Dari hadits di atas, sang pendiri mazhab Syafi’i mengatakan, ketika Allah mengaitkan antara bau mulut orang puasa dengan pahala yang begitu besar, berarti bau mulut (khaluf) adalah alasan Tuhan mengapresiasi mereka dengan pahala. Karena itu, makruh hukum membersihkannya. Pendek kata, bila khaluf ini dihilangkan, lalu apa alasan Tuhan akan mengganjari lebih hambanya? Bukankah besar-kecilnya ganjaran tergantung bagaimana beban yang dipikul?  

Dalam ushul fiqh, pendekatan ini dikenal dengan ima‘. Suatu metode yang digunakan untuk mengetahui illat (alasan) munculnya sebuah hukum, yang ditandai dengan adanya korelasi antara hukum (pemberian pahala dari Allah) dan sifat (membiarkan bau mulut) yang disebutkan dalam redaksi dan konteks dalil yang sama.   Sedangkan Syekh ‘Izzuddin tidak hanya berhenti di sini, tetapi meneruskannya ke tingkat analogi hukum (qiyas). Hematnya, ini bukan semata tentang bau mulut. Tetapi pahala di balik bau mulut tersebut (lihat Syekh ‘Izzuddin, Maqâshid ash-Shaum, hal. 13).

Maka, jika bau mulut saja diberi apresiasi besar oleh Allah subhanahu wa ta’ala, apalagi aroma harumnya. Tentu akan diapresiasi lebih besar. Bukankah sebuah penghormatan bila menemui seorang mulia dengan aroma napas segar nan harum? Apalagi saat menghadap sang pencipta semesta dengan segala kemuliaan dan keagungan-Nya? Pasti jauh lebih baik. Inilah yang dikenal pakar ushul fiqh dengan qiyas aulawi.  

Sebuah hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berbunyi:

Halaman:

Tags

Terkini

Penjelasan Ilmu Fiqih, Tinggalkan Sholat Karena Tidur

Selasa, 8 Oktober 2024 | 10:14 WIB

Mengenal Makna Udzur Sholat Dalam Ilmu Fiqih

Selasa, 8 Oktober 2024 | 10:06 WIB

Hukum Nikahi Sepupu

Minggu, 6 Oktober 2024 | 07:28 WIB

Hikmah Zakat Dalam Islam

Sabtu, 6 April 2024 | 06:00 WIB

Berikut Niat Zakat Fitrah Untuk Berbagai Keadaan

Jumat, 5 April 2024 | 06:00 WIB

Definisi Zakat dalam Islam

Kamis, 4 April 2024 | 06:00 WIB

Sejarah Syariat Zakat dalam Islam

Kamis, 4 April 2024 | 06:00 WIB

Inilah Beberapa Keutamaan Hari Raya Idul Fitri

Kamis, 4 April 2024 | 06:00 WIB

Inilah Makna dan Esensi Idul Fitri Menurut Ulama

Kamis, 4 April 2024 | 02:20 WIB