Bogor Times- Banyaknya mitos beredarnya di tengah masyarakat merupakan bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Berangkatnya racun yang kemudian dilihat oleh waktu, membuat mitos ini tumbuh di pinggir kota.
meski demikian, mitos yang tersebut melalui pitutur orang terdahulu memiiki dampak positif dan negatif. Dan tidak semua orang terlebih dahulu tidak sesuai fakta.
Bulan kedua dalam kalender Hijriah atau bulan safar merupakan bulan setelah bulan Muharram. Di balik penamaan bulan Safar ada alasan khusus, sebagaimana disampaikan oleh Imam Abul Fida Ismail bin Umar ad-Dimisyqi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H).
Baca Juga: Hendak Bunuh Selingkuhan Istri?, Wajib Tau Kisah Kiai Bijak Ini
Baca Juga: Menyambut PTM, Yayasan Pendidikan Muhammadiyah Parung Gelar Vaksinasi untuk Siswa Siswi
Baca Juga: Cara Jitu Hadapi Suami Pelit, Tinjauan Hadis Nabi Muhammad SAW dan Tekhnik, Para Istri Wajib Tau
Di balik penamaan bulan Safar tidak lepas dari keadaan orang Arab tempo dulu pada bulan ini. Safar yang memiliki arti “sepi” atau “sunyi” sesuai dengan keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan Safar.
Sepi dalam arti senyapnya rumah-rumah mereka karena orang-orang keluar dari rumah untuk perang dan lingkungan.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan:
: لِكَ لِخُلُوِّ لِلْقِتَالِ الْأَسْفَارِ
Artinya, "Safar Mulus dengan nama tersebut, karena sepinya ketika rumah-rumah mereka dari mereka, mereka keluar untuk perang dan perpindahan." (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).
Baca Juga: Balita Tewas Terbawa Air Sungai, Saat Asik Main Hujan-hujanan.
Baca Juga: Aksi Balas, PP Hancurkan Posko BPPKB
Ibnu Manzhur (wafat 771 H), menyampaikan alasan yang lebih banyak. Menurutnya, ada beberapa alasan mendasar di balik penamaan bulan Safar, di antaranya: (1) sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir; (2) orang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yang mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanaman pada bulan Safar; dan (3) pada Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) karena mereka ditinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab. (Muhammad al-Anshari, Lisânul 'Arab, [Beirut, Dârus Shadr: 2000], juz IV, halaman 460).