Bogor Times- Sisi rohani merupakan ruang di mana manusia bisa memperkuat karakter religiusitas yang transenden kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Hubungan vertikal manusia kepada Tuhannya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, tetapi juga harus berdampak pada kehidupan sosial dan kemanusiaan secara umum. Ini yang dinamakan keseimbangan antara nalar dan naluri, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual.
Secara hakikat, agama ada sebagai jalan hidup bagi manusia. Kedalaman rohani membantu manusia menyeimbangkan perilaku terhadap kehidupan sehari-hari sehingga tercipta kesejahateraan lahir dan batin. Lebih dari itu, penguatan rohani yang bermuara pada akhlak luhur menjadikan kebahagiaan masyarakat semakin mantap.
Quraish Shihab dalam bukunya Yang Hilang dari Kita: Akhlak (2017) menyebut, akhlak dan budi pekerti yang luhur sangat dibutuhkan untuk mengisi kehidupan masyarakat. Akhlak luhur merupakan keniscayaan dari kedudukan manusia sebagai makhluk sosial.
Semakin luhur akhlak seseorang, maka semakin mantap kebahagiaannya. Demikian juga dengan masyarakat, semakin kompak anggota-anggotanya secara bersama-sama melaksanakan nilai-nilai akhlak yang disepakati bersama, maka semakin bahagia masyarakat tersebut Tujuan-tujuan kemanusiaan dan sosial tidak terlepas dari penyucian batin melalui perbuatan-perbuatan baik dan penguatan rohani lewat asupan-asupan kalam hikmah yang bisa dipelajari setiap Muslim melalui kajian-kajian tasawuf dan teladan-teladan sufi.
Dunia kesufian memberikan peranan penting untuk menjadi manusia rohani seutuhnya di tengah krisis kemanusiaan dan kemerosotan akhlak. Hal ini menunjukan bahwa keseimbangan syariat dan hakikat penting sehingga adab tetap terjaga di tengah kehidupan.
Sebab, tak sedikit orang yang berpengetahuan tetapi kurang berakhlak dalam praktik kehidupan sehari-hari. Inilah pentingnya memahami tasawuf akhlaki yang dicetuskan oleh hujajatul Islam Imam Al-Ghazali, penulis kitab masyhur Ihya’ Ulumiddin. Di zamannya, Al-Ghazali juga mengkritik para sufi, ahli hikmah (hukama) yang menjauhkan diri dari syariat. Begitu juga para fuqaha yang menafikan ilmu-ilmu hakikat. Hal ini tidak terlepas dari pemisahan satu sama lain sehingga Al-Ghazali melakukan integrasi antara syariat dan hakikat. Syariat tanpa hakikat kehilangan ruh.
Manusia tidak akan mudah terhubung dengan Tuhannya dalam memperkuat rohani yang terdapat dalam ilmu-ilmu tasawuf. Begitu pula hakikat tanpa syariat akan kehilangan jalan karena walau bagaimana pun, memahamkan agama kepada orang lain memerlukan jalan keilmuan yang kokoh.
Dua entitas syariat dan hakikat saling melengkapi sehingga dakwah Islam di Nusantara pada masa-masa awal berhasil dilakukan oleh para Wali Songo. Pada masa-masa awal perjuangan NU, para kiai dihadapkan pada potensi perpecahan umat Islam karena perbedaan pandangan keagamaan yang memunculkan khilafiyah.
Bahkan, perbedaan tersebut kerap memunculkan perdebatan yang hebat di beberapa daerah antar masing-masing organisasi Islam.
Padahal, saat ini bangsa Indonesia sedang terjajah sehingga konflik antarumat Islam tentu tidak ideal. Ini baru perbedaan pandangan keagamaan, belum lagi jika menilik keragaman atau kemajemukan bangsa Indonesia. Dalam pandangan KH Achmad Siddiq, Rais ‘Aam PBNU yang hidup dalam kurun waktu 1926-1991, pendekatan kesufian atau rohani bisa menjadi solusi canggih dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Sebab, kesufian bisa merangkul semua umat manusia tanpa melihat dan membeda-bedakan asal-usul, suku, ras, warna kulit, golongan, atau bahkan agamanya. (Menghidupkan Ruh Pemikiran KH Achmad Siddiq, 1999) Dalam tasawuf atau dunia kesufian, semua makhluk dipandang sama.
Manusia dalam diskursus tasawuf merupakan makhluk baik tanpa ada prasangka yang sifatnya ideologis, teologis, atau pandangan diskriminatif. Perbedaan agama, suku, bangsa, warna kulit hanyalah perbedaan artifisial yang tidak boleh menghambat persaudaraan manusia.
Penulis: Fathoni Ahmad