Bogor Times- Siklus Haid menjadi keniscayaan pada perempuan. Namun, kodrat itu tak lantas menghambat ibadah.
Semisal Wukuf bagi jamaah haji perempuan yang tengah mengalami haid. Ketetapan hukum syariah menyatakan sah meskipun tidak utama.
Sebagaimana diterangkan oleh al Imam al-Nawawi dalam kitab al-Idlah bahwa salah satu adab wukuf adalah dilakukan dalam keadaan suci. Dengan demikian, wukuf yang dilakukan jamaah haji yang tengah menstruasi adalah sah, meski ia kehilangan keutamaan wukuf dalam keadaan suci.
Baca Juga: Konstitusi Tunisia Akan Hapus Islam Sebagai Agama Resmi
Baca Juga: Alumni dan Kader PMII Sulawesi Siap Dirikan Universitas Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Baca Juga: Hari Raya Idul Fitri: Sejarah, Keutamaan, dan Maknanya dalam Islam Sunnatullah
“Kesunnahan dan adab wukuf yang ketujuh. Yang lebih utama adalah menghadap kiblat, suci dari hadats dan menutupi aurat. Sehingga bila seseorang wukuf dalam keadaan berhadats, junub, haid, terkena najis atau terbuka auratnya, maka sah wukufnya dan ia kehilangan keutamaan” (Mengutip, Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Idlah, Beirut-Dar al-Hadits, hal.313).
Referensi di atas memberikan pemahaman bahwa kondisi menstruasi tidak mencegah kebsahan wukuf, sebab hanya berkaitan dengan keutamaan, bukan kewajiban.
Apabila memungkinkan jamaah haji yang tengah haid tentu lebih baik menunggu sucinya selama durasi waktu wukuf masih tersedia untuk memperolah keutamaan wukuf dalam keadaan suci. Akan tetapi bila tidak memungkinkan, semisal dengan menunggu suci berakibat ketinggalan rombongan sehingga dapat mengancam keselamatannya, maka lebih utama ikut alur pemberangkatan rombongan meski berwukuf dalam keadaan haid, sebab menjaga keselamatan diri merupakan kewajiban, sementara wukuf dalam keadaan suci adalah kesunnahan.
Baca Juga: Hari Raya Idul Fitri: Sejarah, Keutamaan, dan Maknanya dalam Islam Sunnatullah
Baca Juga: Barokah Idul Adha, Ribuan Ternak di Jawa Barat Sembuh dari PMK
Baca Juga: Jadikan Momen Idul Adha Untuk Berbagi Kebaikan
Dalam Qoidah fiqih menegaskan, “al-Wâjibu lâ yutraku illâ li wâjibin” ( Yang artinya: kewajiban tidak dapat ditinggalkan kecuali karena kewajiban lainnya), sebagian ulama meredaksikan dengan bunyi kaidah “al-wâjibu lâ yutraku li sunnatin” (kewajiban tidak boleh ditinggalkan karena kesunnahan).****