Bogor Times-Setiap zaman tentunya memiliki banyak perbedaan. Seoert ibadah haji masyarakat penjajahan tentu sangat berbeda dengan haji di zaman sekarang.
Beberapa faktor adanya perbedaan itu didasari berbagai faktor, diantaranya, keterbatasan mulai dari fasilitas, regulasi sampai alat transportasi.
Gambaran berbagai macam kejadian dan perjuangan umat Islam di Nusantara yang berkaitan dengan perjalanan ibadah haji itu dapat dijumpai dalam buku Berhaji di Masa Kolonial (2008) karya Prof M. Dien Madjid.
Baca Juga: Alasan Sederhana Perempuan Haid Dilarang Tawaf
Baca Juga: Atasi Truk BBM Bocor, Polres Garut Rekayasa Lain
Dien Madjid mencatat, walimatussafar atau slametan sebelum berangkat haji dan umrah sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Umumnya, sebelum berangkat haji ada upacara perpisahan untuk saling memaafkan antara calon jamaah haji dengan masyarakat, mulai dari keluarga, kerabat dan juga tetangga, selanjutnya mereka akan mengantarkan kepergian calon jamaah sampai ke pelabuhan.
Upacara tersebut tiada lain adalah sebagai bentuk penghormatan kepada calon jamaah haji yang akan melakukan perjalanan sangat jauh dan cukup lama.
Baca Juga: Rompi Anti Panas, Siap Temani Jamaah Haji Indonesia
Baca Juga: Satpoll PP Kota Bogor Tak Izinkan Para Pedagang Berjualan. Lapak Juga Disegel
Baca Juga: Usai Kelar Diperbaiki, Jalan Kembali Diaspal, Proyek Perbaikan Jalan Raya Ciseeng Dicibir Warga
Bisa jadi upacara tersebut menjadi pertemuan terakhir sehingga tidak menjadi beban di kemudian hari karena sudah saling memaafkan.
Perjalanan para calon jamaah haji menuju Makkah digambarkan penuh dengan rintangan dan perjuangan.
Di antaranya harus melewati ombak samudera yang besar dan hembusan angin kencang yang bisa mengakibatkan kapal karam dan membuat penumpang menjadi meninggal, cedera karena terhempas atau terhimpit, barang-barang berharga seperti uang, emas, dan perak menjadi hilang, namun ada juga penumpang yang masih beruntung dan selamat dari kecelakaan.