Bogor Times- Dalam Kitab Syarah (penjelasan matan) Safinatun Naja yaitu Kasyifatus Saja, buah karya ulama Indonesia Syekh Nawawi Al-Bantani menyebutkan tingkatan-tingkatan iman kepada Allah.
Sebelumnya, perlu difahami pengertian iman itu sendiri, menurut para ulama.
Menurut Al-Jurjani (wafat pada 816 H) dalam At-Takrifat, secara bahasa, iman adalah membenarkan dengan hati.
Sementara menurut syariat, iman adalah meyakini dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan.
Senada dengan pendapat Ibnu Hazm Al-Andalusi Al-Qurthubi (wafat pada 456 H) dalam Al-Fashlu fil Milal. Hanya saja, menurut Ibnu Hazm, keyakinan hati dan pengakuan lisan itu harus berlangsung secara bersamaan.
Menurut ulama besar itu, amal perbuatan tidak termasuk ke dalam unsur definisi iman, sebagaimana yang dikemukakan para ulama lain, karena amal perbuatan adalah konsekuensi dari iman itu sendiri.
Karena itu, berdasarkan definisi di atas, Al-Jurjani mengatakan, orang yang bersaksi (berikrar) dan meyakini, tetapi tidak beramal, maka dia adalah fasik.
Sementara orang yang bersaksi dan beramal, tetapi tidak meyakini, maka dia adalah munafik.
Orang yang tidak bersaksi, meskipun meyakini dan beramal, tetaplah dia orang yang kufur.
Ada pula yang berpendapat bahwa iman adalah pembenaran yang pasti terhadap perkara yang sesuai dengan realita berdasarkan dalil-dalil yang kuat, baik dalil aqli maupun dalil naqli.
“Pembenaran pasti” maksudnya tidak ada keraguan sedikit pun terhadap perkara yang diimani.
Kemudian “sesuai dengan realitas” maksudnya tidak dapat dibenarkan keimanan kepada perkara yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, seperti beriman bahwa malaikat adalah anak Allah, sebab faktanya tidaklah demikian.
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Adapun “berdasarkan dalil” artinya keimanan harus dibangun di atas dalil, bukti, dan argumen yang kuat.
Setelah memberikan pengertian, Al-Jurjani kemudian membagi iman menjadi lima macam: (1) iman mathbu‘, yakni iman para malaikat; (2) iman ma‘shum, yakni iman para nabi; (3) iman maqbul, yakni iman orang-orang mukmin; (4) iman mauquf, yakni iman orang-orang bid‘ah; (5) iman mardud, yakni iman orang-orang munafik. ****
Artikel Terkait
Hari Rabu, Kekeramatan, Ke Istimewaan Berdasar Pada Kisah Shohabat dan Hadis
Cara Jitu Hadapi Suami Pelit, Tinjauan Hadis Nabi Muhammad SAW dan Tekhnik, Para Istri Wajib Tau
Jangan Keliru Tentang Syariat Kebolehan Poligami Empat Istri
Menag Yaqut Cholil Qoumas: Pentingnya Rekontektualisasi Fiqih di Era Global
Fahami Pendapat Imam Taqiyuddin, Tiga Tingkatan Hukum dalam Fiqih
PSSI sama dengan Mahkum Alaihi, 'Badan Hukum PSSI sebagai Subjek Hukum dalam Perspektif Fiqih
Jadi Bukti Ringanya Syariat Islam, Kenali Ruhshan Menurut Ushulul Fiqih
Kajian Fiqih Terhadap Hukum Ganti Kelamin
Fiqih speaker : Berangkat dari Kajian Dalil AlQur'an, Hadist, Ushul Fiqh, dan Bagaimana Semestinya
Inilah jadinya Mengikuti Hadist Tapi Anti Mengikuti Ulama-ulama Fiqih.
Guru Besar Ilmu Fiqih Prof. Dr. K.H. Ahmad Mukri Aji MA: Keuntungan Penyelenggaraan Haji Furoda Haram
Dapati Pesantren Terbaik Untuk Anak dengan Mengenal Kitab Fiqih di Pesantren dan Jenjang Pembelajarannya
Inilah Kitab Fiqih Rujukan Para Ulama Indonesia Yang Diajarkan Pada Santrinya
Niat Padamkan Api Baitul Maqdis, Islam Haramkan Bunuh Kelelawar
Boleh Onani dalam Islam, Simak Ketentuannya
Nama Terbaik Untuk Anak, Simak Cara Syariat Islam dalam Penamaan Anak
Pentingnya Amanah dan Sikap Adil dalam Islam
Wisuda ke-74 UIKA luluskan 21 wisudawan/wisudawati dari program studi komunikasi dan penyiaran islam
Pelantikan SEMA dan P2UM Fakultas Agam Islam UIKA Bogor
Takbir keliling, Bukan Pamer Obor, Dalam Menyambut Tahun Baru Islam
Wow! Ibadah Paling Ringan Dilakukan Terbaik Menurut Islam
Satu Atap Dua Istri, Haram Dalam Islam, Simak Penjelasannya
KPI UIKA Undang Selebgram Dalam Webinar Pentingnya Belajar Komunikasi Dalam Islam