Bogor Times – Proyek betonisasi di Jalan Raya Cifor, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, tengah menjadi sorotan. Dugaan kecurigaan muncul apakah Dinas PUPR Kota Bogor diduga yang mengerjakan proyek tersebut, tanpa melalui proses tender yang biasanya menjadi standar dalam pengadaan proyek berskala besar. Ketiadaan papan proyek dan informasi resmi di lokasi pengerjaan pun semakin memperkuat kecurigaan.Namun hal ini belum diketahui pasti kebenarannya sebab ketika dikonfirmasi Kepala Bidang Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kota Bogor,belum bisa dihubungi lantaran ponselnya yang semula centang dua tiba-tiba berubah menjadi centang satu.
Berdasarkan informasi yang diterima oleh Pengamat kontruksi Thoriq Nasution, Dinas PUPR mengklaim bahwa pekerjaan ini bersifat pemeliharaan.Di sisi lain, berdasarkan pengamatan Thoriq di lapangan, jalan yang sebelumnya beraspal ini dikerjakan dengan beton rigid. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah proyek ini hanya pemeliharaan, atau merupakan peningkatan kualitas jalan yang menggunakan anggaran jauh lebih besar?
“Jika ini hanya pemeliharaan, kenapa jalannya kembali tidak diaspal, sesuai dengan kondisi awal? kalau betonisasi jelas ini merupakan peningkatan yang biayanya jauh lebih besar dari pada pemeliharaan,” tambah Thoriq.
Berdasarkan estimasi kasar, menurut Thoriq Nasution biaya proyek ini diperkirakan kurang lebih mencapai Rp 600 juta hingga 1 miliar, tergantung pada panjang dan lebar jalan yang dikerjakan. Biaya sebesar ini tentu memerlukan proses lelang terbuka untuk memastikan penggunaan anggaran itu tepat sasaran,”ujar Thoriq kepada wartawan Bogor Times Selasa,24 September 2024.Thoriq juga menambahkan bahwa untuk proyek dengan nilai signifikan, seharusnya ada proses tender yang terbuka dan kompetitif.
“Jika memang proyek ini dilakukan tanpa melalui proses tender, apa dasarnya? Apakah proyek ini bersifat darurat, seperti halnya bencana alam, yang memungkinkan pengerjaannya langsung dilakukan oleh dinas?,”ujarnya mempertanyakan.
Thoriq Nasution menambahkan, proyek yang bersifat mendesak, seperti penanganan bencana, bisa dikerjakan tanpa melalui proses tender. Namun, untuk proyek peningkatan infrastruktur seperti betonisasi Jalan Raya Cifor, yang tidak termasuk dalam kategori bencana alam, seharusnya ada mekanisme pengadaan barang dan jasa yang lebih transparan.
Masyarakat juga mempertanyakan pelaksanaan proyek ini. Banyak warga yang merasa bingung dengan tidak adanya informasi jelas mengenai proyek tersebut, terutama karena tidak adanya papan proyek yang menjelaskan sumber anggaran, kontraktor yang terlibat, serta jangka waktu pengerjaan. Ketiadaan informasi ini memicu dugaan bahwa proyek ini diduga dilakukan tanpa mengikuti prosedur hukum.
“Masyarakat meminta pihak berwenang, termasuk Inspektorat dan Aparat Penegak Hukum (APH), Kejaksaan Negeri Kota Bogor dapat segera melakukan pemeriksaan terhadap proyek tersebut.Transparansi sangat penting untuk memastikan bahwa proyek ini tidak disalahgunakan dan sesuai dengan aturan yang berlaku,”jelas pengamat kontruksi di Kota Bogor ini.
“Selain itu,dalam setiap proyek pemerintah, dokumen kontrak dan informasi pemenang tender harusnya dapat diakses oleh publik. Hal ini penting untuk menjaga akuntabilitas, terutama pada proyek berskala besar seperti betonisasi,” tegas Thoriq. Ia menekankan bahwa keterbukaan ini bukan hanya sekadar formalitas, melainkan hak publik untuk mengetahui bagaimana uang negara digunakan dalam proyek tersebut.
“Papan proyek yang lazimnya memuat informasi dasar seperti nilai proyek, waktu pelaksanaan, dan nama kontraktor, tidak ada di lokasi. Jadi, publik wajar mempertanyakan siapa sebenarnya yang memenangkan tendernya? Dan yang lebih penting, di mana dokumen kontraknya?,”tanya Thoriq.
Thoriq juga menegaskan bahwa keterbukaan dokumen kontrak adalah kewajiban pemerintah dalam setiap proyek yang menggunakan anggaran negara. Dokumen kontrak tersebut seharusnya mencantumkan detail mengenai pihak yang bertanggung jawab atas proyek, nilai kontrak, serta jadwal pengerjaan. Jika, dokumen ini tidak bisa ditunjukkan, maka transparansi proyek tersebut patut dicurigai.
Lebih jauh lagi, pertanyaan juga muncul mengenai mekanisme pengadaan proyek tersebut. Apakah proyek ini benar melalui proses tender terbuka atau justru dilakukan melalui penunjukan langsung? Hal ini harus dijawab secara jelas oleh Dinas PUPR Kota Bogor. Jika proyek tersebut dilakukan tanpa tender, perlu ada dasar hukum yang kuat untuk menjelaskan mengapa proses pengadaan yang lazimnya terbuka ini tidak dilakukan.
“Apabila proyek ini memang dilakukan melalui penunjukan langsung, Dinas PUPR perlu menjelaskan kepada publik apa alasan di balik keputusan tersebut. Apakah proyek ini bersifat darurat atau ada kondisi khusus lainnya yang membolehkan hal itu? Jika tidak, ini akan menjadi masalah besar karena berpotensi melanggar aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah,” ungkap Thoriq.