Bogor Times-Soal sepak bola, pernah ada santri langsung bertanya kepada ajengan (istilah untuk kiai di Sunda) bagaimana hukumnya, halal apa haram? Sebab ada yang meriwayatkan bahwa olahraga tersebut berasal dari kisah memilukan, yaitu ditendangnya kepala Sayidina Hasan dan Husen, cucu Nabi Muhammad SAW.
Pertanyaan tersebut dikisahkan pada buku Dongen Enteng ti Pasantren karya Rahmatullah Ading Affandi sering disingkat RAF. Buku tersebut menggambarkan pesantren pada zaman Jepang, tapi ditulis tahun 1960-an.
Buku merupakan otobiografi pengarangnya selama ia nyantri pada masa kanak-kanak pengarang. Salah satu fragmennya, menceritakan sosok ajengannya yang senang bermain sepak bola bersama santri. Ajengan turun ke lapangan dengan memakai sarung yang digulung lebih atas dari biasanya sehingga kelihatan celana sontog-nya, celana yang panjangnya sampai ke betis, biasa digunakan di pesantren-pesantren Sunda.
Tak hanya olahraga, ajengan pada kisah tersebut bahkan meminati kesenian, yaitu menonton tunil (sandiwara) yang diperankan santri dan tembang Sunda.
RAF menceritakan jawaban ajengan ketika ditanya hukum bermain sepak bola oleh seorang santri tersebut.
“Kungsi aya santri nanya, ‘Ajengan yaktos ari maen-bal haram? Pedah eta wartosna kapungkur nu disepakanana teh mastaka Sayidina Hasan-Husen.’ Mani nyakakak Ajengan gumujengna. Saurna, ‘Heueuh haram soteh lamun balna ku sirah jalma, ari balna ku kulit mah, naha make haram... Bisa jadi haram maen-bal teh, lamun sakira matak poho kana ibadah, atawa matak ruksak awak. Jeung ari matak ruksak awak mah, ulah boro maen-bal, dalah dahar oge haram.’” (halaman 45).
Mendengar pertanyaan hukum sepak bola, ajengan tertawa. Menurutnya, haram jika bermain sepak bola dengan kepala manusia. Sementara bermain sepak bola dengan bola terbuat dari kulit, kenapa haram? Sepak bola menjadi haram jika meninggalkan shalat, menyebabkan lupa kepada ibadah atau menyebabkan rusaknya badan. Jika menyebabkan sakit, jangankan bermain bola, barang halal saja tidak boleh.
“Saur Ajengan keneh, ari maen-bal teh saenyana mah, ngalatih lahir jeung batin. Lahirna atuh badan jadi sehat, batinna atuh pikiran jadi cageur. Kapan dina maen-bal teh urang kudu nahan napsu. Ulah hayang nyilakakeun batur, ulah hayang males lamun kasepak ku batur. Pokona mah teu meunang goreng hate.
Masih menurut ajengan, bermain sepak bola adalah upaya melatih lahir dan batin. Lahirnya adalah badan menjadi sehat, sementara dari sisi batin, pikiran juga sehat. Pada saat bermain sepak bola kita harus menahan nafsu.
RAF mengomentari pikiran ajengan. Menurutnya, apa yang dikatakan ajengan seperti perkataan ahli-ahli olahraga modern. Hanya berbeda kalimat dan cara menyampaikan sementara maksudnya adalah mens sana in corpore sano (jiwa yang sehat berada pada badan yang sehat).
Dongeng Enteng ti Pesantren adalah kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen otobiografis tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang. Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF.
Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.****