Bogor Times- Mabrur merupakan gelar atau pangkat yang diperoleh oleh orang melaksanakan ibadah haji. Namun tingkat tersebut tidak semua orang pasti mendapatkannya, hanya orang-orang tertentu yang melaksanakan sesuai rukunnya. Balasan bagi orang yang mendapat derajat mabrur adalah kesucian diri, bersih dari dosa ibarat bayi yang baru lahir, dan tempat yang berhak ia peroleh adalah surga.
Menurut Imam Al-Ghazali setidaknya ada 10 adab yang harus diperhatikan oleh jamaah calon haji yang menginginkan derajat tersebut. Namun tujuh (7) yang relevan dikemukakan di sini, yaitu sebagai berikut:
Pertama, berawal dari cita-cita dan mulia tujuan menunaikan ibadah haji. Tujuan dan cita-citanya harus fokus kepada Allah. Hatinya harus tenang dan diarahkan untuk selalu berdzikir mengingat Allah, serta mengagungkan syiar-syiar-Nya. Tangan dan pikirannya harus bebas dari apa pun yang mengganggu hati dan memecah konsentrasi cita-citanya. Kemudian, biaya yang dipakainya juga harus bersumber dari usaha yang baik dan halal. (Al-Ghazali, Ihya 'Ulumiddin, [Beirut: Darul-Ma'rifah], juz I, halaman 262).
Ibnu 'Umar pernah menyatakan, “Di antara ciri orang yang mulia adalah orang yang paling baik dalam perjalanan ibadah hajinya; dan di antara ibadah haji seseorang yang paling utama adalah niatnya yang paling tulus, biayanya yang paling bersih, dan keyakinannya yang paling baik.”
إِذَا كَانَ آخِرُ الزَّمَانِ خَرَجَ النَّاسُ إِلَى الْحَجِّ أَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ سَلَاطِي ْنُهُمْ لِلنُّزْهَةِ وَأَغْنِيَاؤُهُمْ لِلتِّجَارَةِ وَفُقَرَاؤُهُمْ لِلْمَسْأَلَةِ و َقُرَّاؤُهُمْ لِلسُّمْعَةِ
Artinya, “Pada akhir zaman, orang-orang keluar untuk haji empat golongan: para penguasa untuk bersenang-senang, para hartawan untuk berdagang, orang-orang fakir untuk meminta-minta, dan para qari untuk memperdengarkan bacaan.” (HR Al-Khatib).
Dengan kata lain, seorang jamaah calon haji yang berangkat ke Tanah Suci harus berusaha semaksimal mungkin meninggalkan tujuan-tujuan duniawai demi meraih keutamaan ibadah haji dan derajat haji yang istimewa. Kendati dirinya bertugas menjalankan ibadah haji orang lain, maka niatkan membantu dan memudahkan sesama muslim menggugurkan kewajibannya. Jika harus mengambil upah, ambillah upah itu sebatas untuk memungkinkan dirinya menjalankan kebutuhan ibadah haji.
Kaitan dengan wasiat untuk dihajikan, syariat memandangnya sebagai hal yang istimewa sebagaimana yang pernah disampaikan Rasulullah saw:
يُدْخِلُ اللهُ سُبْحَانَهُ بِالحَجَّةِ الْوَاحِدَةِ ثَلَاثَةً اَلْجَنَّةَ اَلْمُوَصِّي بِ هَا وَالْمُنْفِذُ لَهَا وَمَنْ حَجَّ بِهَا عَنْ أَخِيْهِ
Artinya, “Allah akan memasukkan tiga golongan ke surga dengan sekali haji: orang yang meninggalkan wasiat untuk dihajikan, orang yang menjalankan wasiat itu, dan orang yang berhaji untuk saudaranya,” (HR Al-Baihaqi).
Kedua, mempersiapkan bekal secukupnya dan memperbaiki hati dalam memberikan dan membelanjakannya tanpa disertai kekikiran dan sikap berlebihan. Pergunakanlah perbekalan secara sederhana. Namun, hindari pula perilaku bersenang-senang dan makan makanan yang enak-enak atau bermewah-mewahan dalam berpakaian. Sementara banyak memberi dan berbagai rezeki, menurut Al-Ghazali, tidak termasuk sikap yang berlebihan.
Menurutnya, menggunakan bekal untuk perjalanan haji sama dengan menginfakkannya di jalan Allah. Sementara satu dirham yang diinfakkan di jalan Allah dibalas dengan tujuh ratus dirham.
Ketiga, meninggalkan ar-rafats, al-fusuq dan al-jadal, sebagaimana yang dibicarakan Al-Qur'an. Kata al-rafats merupakan kata umum yang mencakup segala urusan sia-sia, keji, dan kotor. Termasuk di dalamnya perbuatan bersenda gurau atau membicarakan hubungan suami-istri. Sementara membicarakan hubungan suami-istri merupakan perbuatan yang dilarang karena mendorong kepada hal terlarang. Perkara yang memicu kepada hal yang dilarang adalah dilarang.