Bogor Times-Sidang kasus suap yang melibatkan seorang Hakim Agung menjadi sorotan publik setelah Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntutnya dengan hukuman 11 tahun penjara.
Namun, keputusan yang akhirnya diambil oleh Pengadilan Negeri (PN) Bandung telah memicu kontroversi karena memvonis hakim tersebut bebas murni.
Hakim Agung Gazalba Saleh, yang sebelumnya berstatus terdakwa dalam kasus suap pengurusan perkara kasasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana, mendapat tuntutan hukum yang cukup berat dari jaksa KPK.
Tuntutan tersebut didasarkan pada serangkaian pemeriksaan panjang dan sejumlah bukti yang dihadirkan oleh jaksa selama proses persidangan.
Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bulan September 2022 telah mengungkap kasus dugaan suap yang melibatkan sejumlah pihak, termasuk hakim yustisial Mahkamah Agung (MA) Elly Tri Pangestu. Dalam operasi tersebut, KPK menangkap beberapa aparatur sipil negara (ASN) di MA, pengacara, dan pihak dari Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.
Kasus ini berawal dari perseteruan di tubuh KSP Intidana pada awal tahun 2022. Debitur KSP Intidana bernama Heryanto Tanaka melaporkan pengurus Intidana, Budiman Gandi Suparman, atas dugaan pemalsuan akta. Pengadilan Negeri Semarang kemudian memutuskan bahwa Budiman bebas dari tuduhan tersebut.
Namun, jaksa yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut mengajukan kasasi ke MA agar Budiman dihukum penjara. Dalam upaya untuk memastikan Budiman dihukum, Heryanto, melalui pengacaranya, Yosep Parera, diduga menyuap sejumlah pihak termasuk hakim yustisial Elly Tri Pangestu dengan nilai suap sebesar Rp 2,2 miliar.
Proses persidangan yang berlangsung cukup panjang memunculkan tuntutan hukuman 11 tahun penjara dari jaksa KPK terhadap Gazalba Saleh. Namun, keputusan yang diambil oleh Majelis Hakim Tipikor di PN Bandung justru memutuskan untuk membebaskan hakim tersebut dari semua dakwaan yang diajukan oleh jaksa.
Keputusan ini seolah menjadi kejutan bagi banyak pihak, mengingat tuntutan yang cukup berat sebelumnya. Majelis Hakim Tipikor yang diketuai oleh Joserizal menyatakan bahwa alat bukti yang disajikan dalam persidangan tidak cukup kuat untuk membuktikan keterlibatan Gazalba dalam kasus tersebut.
Kasus ini juga memunculkan pertanyaan tentang integritas dan marwah institusi peradilan. Penyidikan KPK mengungkap transaksi tak wajar yang dilakukan oleh Gazalba, yang kemudian membuatnya ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Meskipun telah divonis bebas, KPK mengumumkan bahwa mereka akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk memastikan kasus ini tidak menghambat upaya penegakan hukum dan agar marwah institusi peradilan tetap terjaga. Juru Bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan bahwa kasus ini tidak hanya menyangkut penegakan hukum, tetapi juga mencegah praktik korupsi dan jual beli perkara di dalam sistem peradilan.
Kontroversi dan perdebatan terus mengelilingi kasus ini, dan keputusan akhir dari Mahkamah Agung akan menjadi penentu arah kasus ini selanjutnya. Sementara itu, publik menantikan bagaimana proses hukum ini akan berkembang dan berdampak pada kepercayaan terhadap institusi peradilan di Indonesia.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Hakim Agung Gazalba Saleh dengan hukuman yang cukup berat dalam kasus dugaan suap. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, jaksa meminta Majelis hakim Tipikor untuk menyatakan Gazalba bersalah menerima suap, sesuai dengan Pasal 12 huruf c Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Gazalba diduga menerima suap senilai Rp 2,2 miliar melalui kepaniteraan Mahkamah Agung (MA) untuk memastikan vonis kasasi sesuai keinginan salah satu pihak Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana. Dalam kasasi ini, Gazalba merupakan anggota majelis hakim yang mengadili perkara pidana Budiman Gandi Suparman,debitur KSP Intidana yang sebelumnya telah dilaporkan atas dugaan pemalsuan akta.
KPK menganggap ada cukup alat bukti mengenai adanya dugaan perbuatan pidana lain yang melibatkan Gazalba, sehingga ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). KPK menjeratnya dengan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang gratifikasi dan pasal TPPU.