Bogor Times-Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik menjelaskan tentang munculnya politik identitas pada Pemilu atau Pilpres 2024 mendatang.
Ia menyebut, penggunaan politik identitas telah dilarang dalam pasal 280 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Di situ diatur tentang pelaksanaan kampanye yang tak boleh menggunakan pendekatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Masyarakat Indonesia, kata Idham, pada umumnya memaknai politik identitas sebagai politisasi agama. Dengan demikian, politisasi agama adalah sesuatu yang dilarang oleh UU Pemilu.
Baca Juga: Beberapa Tips Sehat Hadapi Polusi Udara
Baca Juga: Peluang Presiden Mendatang, Simak Kata Pengamat
Baca Juga: Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama Segera Digelar
Namun, Idham menjelaskan, istilah politik identitas muncul pada era 1970-an di Amerika Serikat, ketika kelompok-kelompok minoritas melakukan gerakan untuk menuntut hak-hak politik mereka.
"Tapi dalam perkembangan di Indonesia, politik identitas itu praktiknya adalah politisasi agama," jelas Idham dalam Forum Jumat Pertama Edisi Harlah Gus Dur yang diselenggarakan oleh Gusdurian Jakarta di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat, pada Jumat (1/9/2023) malam.
Di dalam diskusi bertajuk Refleksi Menuju Pemilu 2024: Tetap Waras di Zaman Edan itu, Idham meminta para komunikator politik untuk dapat menjaga rasionalitas dan tak mudah terprovokasi.
Baca Juga: Bazar Sembako Murah Serasi: Upaya Menekan Inflasi di Kota Bogor
Baca Juga: Festival Inovasi Kota Bogor: Membangkitkan Semangat Inovator Lokal
Baca Juga: Komisi VIII DPR RI Lakukan Kunjungan Kerja ke Kota Bogor untuk Monitoring Penyaluran Bantuan
"Kita harus tetap menjaga rasionalitas kita agar kita tidak mudah terprovokasi, terjebak pada subjektivisme, pada hal-hal yang sekiranya membuat kita bukan menjadi makhluk rasional. Kewarasan ini satu keniscayaan yang harus kita miliki," tegasnya.
Lebih lanjut, Idham menjelaskan bahwa ajang pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat. Singkatnya, tidak ada ada orang yang berdaulat tanpa kewarasan.
"Kita harus tetap waras, kita harus tetap menggunakan rasionalitas dalam kontestasi elektoral yang sepertinya dari tensinya sekarang sudah mulai agak menghangat, saya berharap tidak panas," jelas Doktor Komunikasi Politik jebolan Universitas Indonesia itu.
Baca Juga: Polda Sumut Gerebek Gudang Penyalahgunaan Solar Bersubsidi, 21 Ton Solar Disita