Bogor Times- Malam hari, 25 Oktober 1944, di bawah pohon besar di kawasan Ancol Jakarta, 18 orang kiai dan santri Sukamanah menjalani eksekusi. Eksekusi itu berdasarkan vonis hukuman mati di pengadilan militer. Mereka telah menjalani hukuman penjara yang penuh siksaan selama delapan bulan. Dari penjara Tasikmalaya, mereka dibawa ke penjara Sukamiskin, penjara Kenpeitai, lalu ke penjara Cipinang di Jakarta. Dan malam itu, tembakan senjata tentara Jepang mengakhiri hidup mereka.
Seusai eksekusi, mereka dikuburkan begitu saja di bawah pohon yang tak jauh dari pantai. Mereka adalah Djenal Mustapha (KH Zainal Musthafa), Asikin, Achmad, Endeng (Endin), Hadori, Ie-Ie (Ii Sahroni), Oemaroe (Umar), Hadijoto (Kiai Achmad Hidajat), Hambari (Kiai Hambali, adik Zainal Musthafa), Amah (Ama), Mohammad Hoesein Soelei (Mohammad Hoesein Soeleiman/Husen), Sapoedeng (Kiai Saifuddin), Saroekoes (Sarkosih), Hapit (Kiai Hafid), Hakimoemoeti Ajiboe Aboedora (Kiai Aip Abdul Hakim), Aboedoro (Abdul Rajak), Karimoe Adong Adijas Aboedoro (Adung Abdul Karim), dan Domon (Kiai Domon).
18 orang itu ditangkap pada hari Jumat, 18 Februari 1944 di halaman Pesantren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya. Sumber lain menyebutkan, 25 Februari 1944. Mereka melakukan perlawanan rakyat atas kekejaman bala tentara pendudukan Jepang. Perlawanan mereka dikenal sebagai Perlawanan Kiai dan Santri, karena mereka terdiri dari para kiai dan santri berbagai pesantren di Singaparna dan sekitarnya. Disebut juga sebagai Perlawanan Sukamanah. Dan Kenpeitai menyebutnya sebagai perlawanan sipil terbesar di Jawa.
Baca Juga: Kenali Beberapa Perkara yang Dapat Merusak Hati
Sejarawan Harri J Benda mencatat peristiwa ini dalam disertasinya The Crescent and te Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945. Menurutnya, perlawanan Sukamanah itu berdampak besar pada kebijakan Pemerintah Bala Tentara Jepang.
Pada 9-10 Maret 1944, pemerintah Bala Tentara Jepang menugaskan pejabat Syumubu dan pengurus Masyumi untuk mengadakan pertemuan dengan para ulama di seputar Tasikmalaya. Harian Asia Raja (15/3/’44) melaporkan demikian:
“Beberapa hari yang lalu telah berangkat dari Jakarta, tuan-tuan dari Syuumubu dan Masyumi untuk mengadakan pertemuan dengan para alim ulama di Tasikmalaya dan sekitarnya. Pada tanggal 9 Maret diadakan pertemuan di Masjid Jami, Tasikmalaya, tanggal 10 di Masjid Jami’ Ciamis, Singaparna, dan Mangunreja. Akhirnya pada hari Jumat di masjid Rajapolah. Pertemuan itu rata-rata dikunjungi lebih kurang 300 alim ulama.”
Seusai pertemuan dengan sekitar 1.500 ulama se-Priangan Timur itu, pengurus Masyumi secara aktif menyebarkan edaran untuk menjawab rasa penasaran masyarakat dan meredam kemarahan kelompok pesantren yang terafiliasi kepada Ajengan Sukmanah. Masyumi dan pejabat Jepang juga mengadakan pertemuan serupa di seluruh Jawa. Hal itu sebagai upaya meredam para ulama dan umat Islam agar perlawanan Sukamanah tidak menyebar dan para ulama serta umat dapat memaklumi tindakan keras pemerintah.
Baca Juga: Inilah Khazanah Fathaniyah dan Kisah Panjang Percetakan Kitab-Kitab Ulama Jawi
Kantor Berita Domei juga secara khusus mewawancarai KH. Hasyim Asy’ari di Jombang yang hasilnya dimuat dalam Asia Raja. Tanggapan Jepang dengan mengadakan sejumlah pertemuan masif ini, menunjukkan keterkejutan mereka atas terjadinya perlawanan Sukamanah. Apalagi perlawanan semacam ini, dalam skala yang lebih kecil, kemudian terjadi pula di Indramayu.
Jepang sangat berkepentingan agar perlawanan serupa tidak terjadi lagi. Satu-satunya cara adalah mengakomodasi kepentingan umat Islam. Kantor jawatan agama yang tadinya hanya berada di tingkat pusat (Syuumubu), sejak 5 Maret diperluas dengan membuka kantor di tingkat karesidenan (Syumuka). Kantor ini resmi berlaku pada 1 April 1944, dipimpin oleh kepala yang disebut Shumukacho dan dibantu oleh dua orang dari ulama setempat. Melalui kantor Syuumuka inilah para kiai, khususnya yang berasal dari NU, tampil sebagai pejabat urusan agama. Kiranya dari sinilah bermula asal-usul identifikasi NU dengan Kementrian Agama.
Peristiwa Sukamanah, secara tidak langsung, telah menempatkan elit-elit NU pada posisi menentukan di pemerintahan, khususnya dalam urusan keagamaan. Pada 1 Agustus 1944, KH. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Syuumubucho (Kepala Jawatan Agama) menggantikan Dr. Hoesein Djajadiningrat yang mengundurkan diri. Dalam pelaksanaannya sehari-hari, Kiai Hasyim diwakili oleh putranya KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdul Kahar Muzakkir. Beliau sendiri tetap tinggal di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Baca Juga: Biografi Singkat Kelahiran Nabi Muhammad SAW hingga Awal Hijrah ke Madinah
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren, mencatat peristiwa ini dengan baik dalam sebuah dialog.
SZ (Saifuddin Zuhri): Bagaimana kabar Hadratus Syaikh setelah keluar dari tahanan Nippon?
WH (KH Wachid Hasyim): Alhamdulillah, kesehatannya justru membaik. Selama dalam penjara Hadratus Syaikh bisa mengkhatamkan Al-Quran dan kitab hadits Al-Bukhori berkali-kali. Nippon kini melakukan politik kompensasi terhadap Hadratus Syaikh ...
SZ: Bagaimana bentuk kompensasinya?
WA: Hadratus Syaikh diangkat menjadi Syumubucho, Kepala Jawatan Agama.