BogorTimes - Seperti yang di ketahui para warga nahdliyyin. Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.
Ini lah pepatah yang meski kita pahami dengan mendalam. karena ini yang menjadi cikal bakal Hari Santri dan resolusi jihad akan kita kupas secara lugas dan akurat.
Di dalam film Sang Kiai, Kiai Hasyim Asy'ari yang makin sepuh sangat ingin diajari menembak di zaman Revolusi. Bukan tidak mungkin tentara Belanda akan mencari anaknya yang jadi pejabat Republik. Tapi kesehatannya tidak memungkinkan untuk belajar menembak. Kiai Hasyim Asy'ari akhirnya wafat pada 25 Juli 1947 atau empat hari setelah Belanda melancarkan Agresi Militer I.
Setelah Kiai Hasyim Asy'ari tutup usia, Hizbullah menjadi salah satu laskar yang terlibat dalam Revolusi Indonesia. Bahkan ada juga bekas milisi Hizbullah yang kemudian bergabung dengan TNI.
Baca Juga: Kamu Setia Atau Tukang Selingkuh? Lihat Bulan Kelahiran Kamu
Belakangan, Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 akhirnya dikenang sebagai Hari Santri Nasional. Presiden Joko Widodo menetapkannya secara resmi pada 2014.
Penetapan Hari Santri oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 pada 15 Oktober 2015 merupakan supremasi perjuangan para santri dan ulama pesantren dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pada saat itu NICA (Netherlands Indies Civil Administration) menunggangi tentara Sekutu (Inggris) ketika hendak kembali menduduki Indonesia dalam Agresi Militer Belanda II pasca kekalahan Jepang oleh Sekutu.
Baca Juga: Miliki Segudang Inovasi, PT Indocement Kembali Mendulang Penghargaan Bergengsi
Hal ini menunjukkan bahwa Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 bukanlah akhir dari perjuangan. Justru perjuangan semakin sengit sehingga tidaklah mudah ketika bangsa Indonesia ingin menegakkan kemerdekaan Indonesia, sementara rongrongan upaya kolonialisme masih tetap ada menggerogoti.
Ulama pesantren sudah menyiapkan jauh-jauh hari kalau-kalau terjadi perang senjata saat Jepang menyerah kepada Sekutu. Pendudukan Jepang atas Indonesia tergoyang ketika mereka kalah perang dengan tentara sekutu. Seketika itu pula mereka berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuatan perangnya dengan melatih para pemuda Indonesia secara militer guna berperang melawan sekutu.
Para pemuda dimaksud tidak lain adalah para santri. Karena sudah mempunyai kesepakatan diplomatik dengan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Jawatan Agama (Shumubu) yang diwakilkan kepada anaknya KH Abdul Wahid Hasyim, Nippon menyampaikan gagasannya itu kepada Kiai Hasyim Asy'ari.
Baca Juga: Muhammadiyah : Pancasila Sudah Sejalan, Senafas dan Sejiwa dengan Islam
Setelah melalui berbagai pertimbangan, Kiai Hasyim Asy'ari menyetujui langkah Jepang tersebut dengan syarat para pemuda yang dilatih militer itu berdiri sendiri tidak masuk dalam barisan Jepang. Itulah awal terbentuknya laskar yang diberi nama oleh Kiai Hasyim Asy'ari sebagai Laskar Hizbullah.
Laskar Hizbullah ini dibentuk pada November 1943 beberapa minggu setelah pembentukan tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Meski kedua badan kelaskaran itu berdiri sendiri, tetapi secara teknik militer berada di satu tangan seorang perwira intelijen Nippon, Kapten Yanagawa.