nasional

Semua Dilabelisasi, Diduga Menguatnya Potensi Monopoli

Jumat, 31 Desember 2021 | 19:44 WIB

Bogor Times- Keputusan Labelisasi halal dalam setiap produk diyakini banyak pihak akan berimbas para pelaku usaha berupaya memenuhi kriteria halal agar produknya bisa dipasarkan secara luas bahkan hingga ke luar negeri dan terhindar dari serentetan masalah.

Hukum supply and demand berlaku, saat permintaan tinggi, biayanya cenderung kan melonjak dan rentan dipermainkan. Sangkaan adanya praktik monopoli tak terhindarkan.

Tingginya permintaan sertifikasi halal tentu direspons LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia), lembaga yang selama ini umum diketahui mengurus hal tersebut.  
Baca Juga: Kejutan Nagita Slavina Pada Raffi Ahmad Usai Nonton Final Liga 2
Kepada media, Direktur LPPOM MUI Muti Arintawati menegaskan, MUI tidak pernah melakukan praktik monopoli terhadap sertifikasi halal.

Terlebih kata dia, saat ini sudah ada beberapa LPH (Lembaga Pemeriksa Halal), misalnya Surveyor Indonesia dan Sucofindo yang juga diberi tugas memeriksa kehalalan produk milik pelaku usaha.

"Saat ini, kalau dianggap monopoli, nggak ada," ujarnya, Kamis, 30 Desember 2021.
Baca Juga: Yang Belum Terdaftar PKH, Jangan Malu Pinjam HP Tetangga Daftar DTKS Kemensos
Dia menuturkan, sebelum ada UU JPH (Jaminan Produk Halal), LPPOM MUI memang menjadi satu-satunya lembaga yang memeriksa tingkat kehalalan produk yang beredar di Indonesia sebagai bagian dari amanah MUI.

Saat LPPOM MUI didirikan tahun 1994, tidak ada satu pun lembaga yang berminat mengurusi sertifikasi halal.

Oleh karena itu, Muti menjelaskan, saat ini LPPOM MUI juga tetap mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah, termasuk penentuan biaya pengujian kehalalan produk.
Baca Juga: Indocement Kembali 'Gondol' Penghargaan, Tiga Komplek Pabrik Raih PROPER Hijau 2021
Muti menjelaskan, sebelum diatur Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, lembaganya menetapkan biaya sertifikasi halal sekira Rp3 juta.

Biaya itu tertuang dalam kontrak yang telah disetujui pelaku usaha. Kemudian biaya-biaya tersebut digunakan untuk proses penetapan fatwa, pengawasan, pengujian, dan biaya auditor.

Di samping itu, Muti menjelaskan, lembaganya diaudit Akuntan Publik sehingga semua yang berkaitan dengan LPPOM MUI dapat dipertanggungjawabkan.
Baca Juga: Kegalauan Gubernur Jawabarat, Ridwan Kamil di Era Pandemi Covid-19
Hanya, kata dia, LPPOM MUI bukan lembaga publik yang harus bertanggung jawab untuk melapor kepada publik.

Di lain tempat, Mantan Kepala BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), yang juga pendiri Halal Institut, Prof. Sukoso menyebut, monopoli sertifikasi halal sejatinya harus dibongkar karena sudah menjadi amanah Undang-Undang.

Sukoso menuturkan, berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan bahwa setiap lembaga yang terlibat dalam penjaminan produk halal sudah berdiri sendiri.
Baca Juga: Meskipun Dicibir Netizen, Dedi Mulyadi Dianggap Satu-satunya Anggota Dewan Yang Patut Ditiru

MUI misalnya, kata dia, berperan sebagai pemberi fatwa dan LPH bertugas melakukan audit supaya objektivitasnya jelas.

"Ini yang harus dilaksanakan. Agar tidak ada monopoli (sertifikasi halal)," katanya.

Prof. Sukoso mendorong agar keberadaan LPH diperbanyak. Bahkan ia mendorong Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia mendirikan LPH untuk memudahkan para pelaku usaha mendapat sertifikasi halal.
Baca Juga: Penghapusan Premium dan Pertalite Tuai Sejuta Pertanyaan 'Siasat Apa?'
Sebab yang terjadi saat ini, tidak semua wilayah memiliki LPH dan harus mendatangkan auditor dari wilayah lain.

"Kalau dulu sebelum ada UU ini, yang memeriksa miliknya MUI, dalam ruangan MUI, dan yang memberikan fatwa MUI, sekarang sudah pisah," ucapnya.

Seluruh proses sertifikasi halal bagi para pelaku usaha dilakukan secara transparan.

Muti menyebut, biaya sertifikasi halal yang ditetapkan LPPOM MUI tertuang dalam akad atas persetujuan kedua belah pihak yakni perusahaan dan LPPOM MUI.
"Kalau sudah menandatangani harganya sekian, tidak ada pemaksaan. Kalau ada yang keberatan, kami masih memberikan pertimbangan," katanya dalam diskusi virtual, Kamis 30 Desember 2021.

Seluruh pendapatan yang diperoleh dari pembiayaan sertifikasi halal, menjadi pendapatan LPPOM MUI yang digunakan untuk membayar auditor hingga biaya operasional lembaganya.

Dia menambahkan,dia LPPOM juga menyisihkan pendapatan yang dihasilkan kepada MUI untuk mendukung seluruh aktivitas syiarnya.

"LPPOM ini lembaga otonom di bawah MUI. Di MUI ada komisi hingga lembaga. Jadi pengelolaan uang itu dilakukan LPPOM," tuturnya.

Seluruh pendapatan dari pembiayaan sertifikasi halal, kata dia, memang tidak masuk kas negara, karena LPPOM MUI bukan lembaga negara.

Dia menyebut, LPPOM MUI sejajar dengan lembaga ISO yang mengurusi mutu. Hal yang membedakan, lembaganya ditugaskan melakukan pengujian kehalalan produk.

Ketua Harian Halal Institute, Arifin menyebut, akreditasi LPH oleh BPJPH harus dipercepat.

Terlebih, kata dia, bila mengacu pada proyeksi BPJPH ke depannya, setiap kabupaten/kota di Indonesia harus memiliki satu LPH.

Arifin menuturkan, saat ini baru ada tiga LPH yang sudah terakreditasi yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, dan LPPOM MUI. Pada 2022, ada 9 LPH yang akan menerima akreditasi BPJPH.

"Kalau mengikuti proyeksi BPJPH setiap kabupaten ada satu LPH, masih kurang banyak," katanya, Kamis 30 Desember 2021.

Arifin menegaskan, saat ini juga sudah tidak ada praktik monopoli sertifikasi halal. Terlebih semua harga sudah diatur BPJPH.

Setelah 9 LPH diakreditasi, tidak akan ada lagi praktik monopoli sertifikasi halal. Justru akan menjadikan biaya sertifikasi halal antara satu LPH dengan yang lainnya kompetitif.


"Tinggal kompetisi saja, persaingan di situ, lagi pula sudah ada aturan BPJPH jadi tidak kurang dan lebih dari itu," ucapnya.

Arifin juga mendorong para auditor segera mengikuti uji kompetensi. "Jumlah auditor sudah cukup banyak, bagaimana mereka secepat mungkin mengikuti sertifikasi dan LPH diakreditasi," tuturnya.

"SDM halal itu spesifikasinya khusus. ada kompetensi. Kalau nggak, nanti yang diaudit bagaimana," tuturnya.

Berdasarkan Pasal 40 Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dijelaskan bahwa akreditasi LPH dilakukan BPJPH.

Permohonan akreditasi LPH diajukan pimpinan satuan kerja yang terkait dengan penyelenggaraan JPH, baik instansi pusat maupun instansi daerah, pimpinan perguruan tinggi negeri, pimpinan badan usaha milik negara, pimpinan badan usaha milik daerah, atau pimpinan lembaga keagamaan Islam berbadan hukum sebagai pemohon kepada Kepala Badan.
Baca Juga: Kejutan Nagita Slavina Pada Raffi Ahmad Usai Nonton Final Liga 2
Terhadap sejumlah aturan baru tentang penyelenggaraan jaminan produk halal, Ketua Ombudsman Republik Indonesia Mokh. Najih menyatakan akan mendalami aturan baru proses sertifikasi halal bagi pelaku usaha.

Pendalaman tersebut dilakukan untuk melihat apakah ada potensi maladministrasi dalam penerapannya.

"Nanti mungkin tahun depan akan dicoba dilakukan, dideteksi terhadap berlakunya aturan baru kaitannya dengan efektifitas, ada potensi atau tidak regulasi baru ini terhadap maladministrasi," kata Najih.
Baca Juga: PMII Kab Bogor: Permensos Anggap KPM Sebagai ‘Raja’, Beda dengan Kecamatan Parung
Dia menuturkan, sejauh ini Ombudsman belum menerima aduan perihal maladministrasi sertifikasi halal.

Akan tetapi, proses peralihan kewenangan sertifikasi halal dari MUI kepada Kementerian Agama memunculkan masalah dan belum tuntas hingga saat ini.

"Jadi ada hal-hal yang masih ditahan oleh MUI dan ada hal yang belum bisa dilakukan Kemenag. Sementara dari sumber daya manusia, MUI lebih banyak kompeten," tuturnya.
Baca Juga: Pasang Baleho di Semeru, Putri Kandung Megawati Terancam Turun. Ini Kata Rocky Gerung
Usai terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal pelaksanaan sertifikasi halal tidak tunggal di MUI, pelaku usaha harus mengajukan permohonan kepada BPJPH.

Tahapan selanjutnya yaitu:

1. BPJPH meneliti seluruh persyaratan yang diajukan
2. Kemudian pelaku usaha menentukan LPH untuk memeriksa produk-produk yang dijualnya.
3. LPH memeriksa produk dan hasilnya diserahkan kepada MUI.

"Proses ini tentu, menurut saya memerlukan waktu tapi d isisi lain berlakunya UU Cipta Kerja lebih mengganggu efektifitas pelayanan sertifikasi halal terutama yang dihadapi UMKM," ujarnya.

"Nah menurut saya SDM yang dulu dibina MUI bisa dioptimalkan dan diperankan sehingga nanti pelayanan sertifikasi lebih cepat," ujarnya.

Baru 19.000
Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham menyebut, saat ini baru ada 19.000 pelaku usaha yang mengantongi sertifikat halal.
 
Aqil menyebut, bila dibandingkan total jumlah pelaku usaha di Indonesia, angka itu masih sangat kecil.
 
"Sejauh ini yang sudah melalui sertifikasi sampai 30 Desember 2021, jumlahnya 19.070. Ini belum ada apa-apanya, masih sepersekian persen dari pelaku usaha yang berjumlah 64 juta," katanya, Kamis 30 Desember 2021.
 
Aqil menjelaskan, berdasarkan data, 90 persen pelaku usaha itu bergerak di sektor makanan.
 
Dia menyebut, angka 19.000belum memiliki makna apa pun. Pemerintah menargetkan, seluruh produk yang beredar di Indonesia sudah harus bersertifikat setelah 2024.
 
Setelah itu, akan ada yang melakukan pengawasan. Pihaknya akan membentuk tim mendekati 2024.
 
 
Sementara itu, berdasarkan data LPPOM MUI, jumlah sertifikat halal yang dikeluarkan pada 2021 mencapai 11.756 dengan jumlah produk 381.813.
 
Trennya meningkat bila dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 10.120 sertifikat dengan jumlah produk mencapai 325.222.
 
Apa komentar dewan?

Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto mengatakan, sertifikasi halal baik gratis maupun berbayar tidak boleh dipersulit.

Dia meminta masyarakat melapor kepada DPR jika dipersulit atau kesulitan mengurus proses sertifikasi halal.

Yandri menjelaskan, saat ini proses regulasi sertifikasi halal justru sudah memudahkan para pelaku usaha.

Di sisi lain, DPR bersama Kementerian Agama telah berkomitmen mendorong percepatan sertifikasi halal bagi masyarakat.

Aturan baru, menurut dia, dibuat untuk menghilangkan praktik monopoli. "Justru kita membuat alur seperti ini supaya tidak ada monopoli. Kalau dulu, hanya satu pintu melalui MUI," katanya.

"Sekarang LPH itu kita buka partisipasi publik artinya yang berkompeten apakah itu pihak kampus atau Ormas Islam atau lembaga lain yang dianggap layak untuk penilaian halal itu terbuka justru itu meningkatkan pelayanan," ucap Yandri.

Di samping itu, kata dia, persoalan besaran biaya bagi pelaku usaha dalam sertifikasi halal kini sudah memiliki alur yang jelas yang ditentukan Kementerian Keuangan.

Baik perusahaan besar, menengah, dan perusahaan kecil sudah memiliki ketentuan pembiayaan.

"Kalau masih ada pungutan, mungkin di luar ketentuan yang sudah ditentukan Kemenkeu melalui Dirjen anggaran. Saya kira perlu kita telusuri siapa yang melakukan dan apa tunuannya, karena itu dalam regulasi tidak diperkenankan," ucapnya.***



Tags

Terkini

Wajib Tau, Penyebab Kemiskinan Pendapat Ulama

Selasa, 8 Oktober 2024 | 10:18 WIB