Bogor Times -Gorengan kerap menjadi teman sejati masyarakat. Disajikan melengkapi hidangan kopi. Saat ini, cemilan itu alami kenaikan hingga Rp5 ribu empat potong.
Awalnya gorengan hanya Rp1.000 per potong. Kenaikan harga itu menarik perhatian pemimpin daerah seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang juga mengunggah hal tersebut di akun Instagram pribadinya.
Bukan tanpa alasan. para pedagang terpaksa menaikkan harga jual dagangannya seiring kenaikan harga kebutuhan pokok. Sebut saja minyak goreng, telur, bahkan cabai rawit yang harganya kini melambung.
Baca Juga: Wajib Tau, Empat Alam Yang Akan Dilalui Manusia
Sejak menjelang Natal dan tahun baru, beberapa komoditas kebutuhan masyarakat mengalami kenaikan signifikan. Contohnya, minyak goreng kemasan yang kini di kisaran Rp35.000-Rp40.000 untuk kemasan 1,8 liter-2 liter.
Begitu juga dengan harga telur yang kini di pasaran berkisar Rp30.000-Rp33.000 per kilo(/kg). Belum lagi komoditas-komoditas lainnya.
Para pedagang tak bisa berbuat banyak terkait hal itu. Bahkan, beberapa pedagang mengatakan, situasi yang terjadi saat ini sebagai ”kado awal tahun”.
Baca Juga: 162 Kasus Omicro, Pemprov Waspada Pejalan Luar Negeri
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), kenaikan harga tertinggi terjadi pada cabai rawit merah yang melonjak sampai 130,97 persen dalam sebulan.
Selain itu, cabai rawit hijau melesat 54,71 persen, minyak goreng naik 7,43 persen, gula naik 0,76 persen, daging ayam naik 1,42 persen, dan telur ayam naik 3,56 persen.
Terkait hal itu, pemerintah berdalih kenaikan terjadi akibat tingginya permintaan. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyebut, kenaikan harga sejumlah komoditas pangan tidak berkaitan dengan kekurangan stok.
Baca Juga: Remaja 17 Tahun Diduga Korban Pembunuhan, Ditemukan di PTPN VIII Rajamandala
Pasalnya, ketersediaan bahan pangan pokok dalam kondisi aman. Apa yang terjadi adalah karena permintaan masyarakat yang meningkat menjelang Natal dan tahun baru. Hal itu biasa terjadi menjelang perayaan hari-hari besar.
Apa yang dikemukakan pemerintah mungkin ada benarnya. Namun, kemudian muncul pertanyaan ketika pemerintah justru mulai menaikkan harga kebutuhan masyarakat lainnya, khususnya di sektor energi seperti bensin dan elpiji.
Terkait energi, pada 2022, pemerintah berencana mengganti BBM jenis Premium yang beroktan rendah ke oktan yang lebih tinggi seperti Pertamax yang dinilai lebih ramah lingkungan.
Baca Juga: Jawab Panggilan Polda, Habib Bahar: Saya Warga Negara Yang Baik
Bahkan, Pertalite yang selama ini dipakai menggantikan Premium juga lambat laun akan dihilangkan dari pasaran.
Hal itu tentu akan menjadi beban tersendiri bagi masyarakat. Selain itu, harga elpiji nonsubsidi juga naik sekira 17 persen.
Pertamina menaikkan harga gas elpiji mulai 25 Desember 2021. Di pengecer resmi, harga elpiji 12 kg menjadi Rp163.000.
Baca Juga: Problematika Keharaman, Dalam Proses Impor Daging
Kondisi itu dikhawatirkan bisa membuat masyarakat kembali memburu elpiji subsidi 3 kg yang justru bisa memicu kenaikan harga bahkan kelangkaan karena tingginya permintaan.
Para pengamat menilai, kenaikan harga yang bertubi-tubi akan semakin mempersulit perekonomian masyarakat.
Apalagi kondisi pandemi yang telah berlangsung sekira dua tahun telah memukul perekonomian di Indonesia.
Menurun dia, kasus Covid-19 sebenarnya menjadi kesempatan masyarakat untuk kembali menata perekonomiannya yang sempat terpuruk. Namun, kenaikan kebutuhan pokok justru akan menggerus fondasi yang mulai dibangun kembali.
Apalagi, harus diakui, kenaikan itu akan memberikan dampak berantai. Artinya, ketika harga komoditas naik, akan diikuti kenaikan harga lainnya.
Selain itu, ketika harga sudah naik biasanya akan sulit diturunkan kembali. Padahal, penerimaan masyarakat justru cenderung tidak mengalami peningkatan, seperti yang tergambar dari penetapan upah minimum kota/kabupaten beberapa waktu lalu.
Kini, keputusan besar ada di tangan pemerintah sebagai pembuat regulasi. Salah satu solusi yang ditawarkan biasanya dengan memberikan bantuan sosial bagi masyarakat.
Harus diakui, itu pun masih perlu pembenahan. Bahkan, Menteri Sosial mengaku data masih menjadi kendala karena masih adanya penerima bantuan di luar sasaran yang seharusnya.
Melihat kondisi yang ada, banyak pekerjaan rumah yang dihadapi pemerintah pada awal 2022.
Pemerintah harus bisa secepatnya menstabilkan harga-harga kebutuhan. Dengan begitu, diharapkan perekonomian akan semakin membaik dan 2022 benar-benar bisa menjadi tahun harapan bagi kita bersama.***