Bogor Times- Meskipun sudah banyak keterangan mengenai tempat ibadah. Tetap saja terdapat beberapa pertanyaan yang sering muncuk. Beberapa pertanyaan tersebut antara lain: (1) Apa hukumnya membiarkan pendirian gereja yang sudah memenuhi prosedur, aturan izin pemerintah? (2) Apa hukumnya, atau boleh atau tidak menghalangi pembangunan gereja yang sudah dapat izin pendiriannya oleh pemerintah? (3) Apa batas-batas toleransi dalam kehidupan beragama, menurut Kitab Kuning?
Untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut, moderator membagi diskusi pembahasan menjadi beberapa sesi. (1) Sesi untuk mengemukakan jawaban hukum secara singkat. (2) Sesi untuk mengemukakan argumen yang berdasarkan pandangan ulama dalam kitab kuning (ta’bir). (3) Sesi mendiskusikan jawaban hukum dan ta’bir yang telah dikemukakan. (4) Sesi perumusan dan pengambilan kesimpulan.
Pada sesi pertama, moderator terlebih dahulu memberi pengarahan, bahwa silahkan satu persatu peserta memberi jawaban hukum; yang berkisar antara: (1) Hukumnya Khilaf (ada perbedaan antar ulama). (2) Hukumnya Halal. (3) Hukumnya Haram. (4) Hukumnya Tafshil (Terperinci), artinya bisa menjawabkan hukumnya, tetapi tergantung pada apa yang menjadi keadaan yang melingkupinya.
Mula-mula peserta diajak membahas pertanyaan tentang “hukum membiarkan pendirian gereja yang sudah memenluhi aturan, prosedur dan dapat izin dari pemerintah?”.
Ketika menjawab hukumnya, ada 1 orang peserta menjawab bahwa hukumnya haram, satu orang peserta menjawab bahwa hukumnya wajib. Beberapa orang peserta menjawab bahwa tafshil, hukumnya baru diketahui bila terperinci. Satu orang peserta yang memilih jawaban tafsil, ust. Hudhori menyatakan bahwa dalam hal ini banyak pandangan ulama bisa dikemukakan, “fihi nadhzâr” katanya.
Ada dua orang peserta menyatakan bahwa membiarkan pendirian gereja yang sudah mendapatkan izin pemerintah, hukumnya Halal Mutlak, alias halal tanpa syarat.
Kemudian pada sesi mengemukakan argumen kitab kuning (ta’bir), moderator meminta peserta untuk membahas terlebih dahulu, jawaban yang menyatakan bahwa hukum membiatkan pendirian gereja yang dapat izin pemerintah adalah wajib. Jawaban ini diungkapkan oleh ust. Sa’dullah dengan alasan bahwa sebagai umat Islam Indonesia, kita juga berkewajiban melindungi dan mengusahakan agar agama lain bisa beribadah dengan baik.
Jawaban Sa’dun ini banyak mendapat tantangan, "Karena dianggap bisa membaurkan akidah, masa umat Islam wajib ikut mendirikan atau mendukung pendirian gereja? “Bukankan ini berarti ridha terhadap agama lain, dan ridha terhadap agama selain Islam, itu artinya merusak akidah,” ungkap Faiq, seorang peserta alumni Lirboyo.
Peserta yang lain, ust. Hudhori juga tidak sependapat, dan menyatakan bahwa jawaban Sa’dun tersebut terlalu ekstrem, apalagi tidak dibarengi dengan landasan pandangan ulama (ta’bir) yang mendasarinya.
Mendapatkan reaksi penolakan, Sa’dun yang alumni Pascsarjana PTIQ dan pernah belajar di al-Azhar Mesir ini mengemukakan ta’bir dengan menyebut kan ayat al-Hajj ayat 40, yang berbunyi:
“Laû lâ daf’ullahu al-nâsa ba’dhuhum bi ba’dhin lahuddimat shawâmi’un wa biya’un wa shalawâtun wa masâjidun yudzkaru fîhâsmullahu katsîran”¸ artinya: “Jika Allah tidak mencegah manusia, sebagian atas yang lainnya, maka akan hancurlah, gereja-gereja, tempat-tempat ibadah orang yahudi, sinagog-sinagog dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Ta’bir yang dikemukakan Sa’dun ini pun disanggah oleh Ali Mursyid, dengan mengatakan bahwa: “Kalau melihat terjemahannya memang seperti itu, tetapi al-Qur’an dan terjemahan saja tidak cukup jadi landasan, kita harus meruju tafsirnya”.
Kemudian Ali Mursyid mencoba mengebolasi ayat tersebut dari berbagai pandangan penafsir yang ada.
“Dalam banyak kitab tafsir, baik dari ekstrem kanan, seperti tafsir al-Maraghi sampai tafsir yang paling rasional, Mafatih al-Ghaib karya al-Razi mengartikan “Laû lâ daf’ullah al-nâsa ....dst” itu artinya bahwa orang mukmin (muslim) sebagai hamba Allah memang berkewajiban menjaga utuhnya bangunan -bangunan peribadatan itu, baik masjid, gereja, wihara maupun sinagog.
Tetapi sayangnya para penafsir juga menyaratkan adanya perlindungan tersebut. Dalam tafsir al-Maraghi, tafsir ektrem kanan, disebutkan bahwa justru ayat itu menunjukkan adanya kewajiban jihad bagi muslim untuk memerangi orang-orang kafir, karena kalau orang mukmin tidak berkuasa atas orang kafir maka tidak akan perlindungan bagi tempat-tempat ibadah tersebut.