Bogor Times- Kasus yang menjerat Bupati Bogor telah perhatian publik, pasalnya sosok ibu yang diandang solehah dikalangan masyarakat kabupaten bogor tiba-tiba di operasi tangkap tangan (OTT) oleh lembaga anti rasuah (yaitu KPK).
Bupati bogor AY diduga telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terhadap pegawai BPK provinsi Jawa Barat atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) TA 2021 Pemkab Bogor. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar laporan keuangan oemkab bogor bisa meraih predikat wajar tanpa rencana (WTP).
Namun ada pengakuan langsung dari AY Bupati Bogor sebagai tindak pidana melalui siaran berita harian kompas pada tanggal 28 April 2022 pukul 06.31 WIB, menurut AY perbuatannya tersebut "Dipaksa jawaban Atas Perbuatan Anak Buahnya" dalam hal ini Sekdis PUPR (MA), Kasubid Kas Daerah BPKAD Kab Bogor (IA) dan PPK Dinas PUPR (RT).
Jika benar demikian tentunya ini harus dipertimbangkan secara serius oleh lembaga anti rasuah (KPK) sebagai lembaga penegak hukum, kemudian pertimbangan arogansi lembaga ini jangan dipandang istimewa oleh negara. Berangkat dari pertanggungjawaban hukum pidana (korupsi), aparat penegak hukum (APH) sering mendengar tentang teori hukum pidana yaitu mens rea (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana) dan actus reus (perbuatan yang melanggar undang-undang pidana).
Mens Rea dan Actus Rea di dalam tindak pidana korupsi sangat penting untuk diperhatikan, kejahatan yang saat ini dimasukkan ke dalam katagori kejahatan luar biasa ini tidak semua dilakukan atas kesadaran atau ada niat.
Namun faktanya hari ini tidak sedikit kasus korupsi yang menyeret orang-orang tidak berdosa dalam hal ini yang telah melakukan perbuatan pidana yang secara hukum telah memenuhi unsur-unsur yang dikaitkan dengan teori hukum pidana (Mens Rea & Actus Rea, Red), sehingga apakah ketika seseorang yang berbuat tindak pidana karena ketidaktahuan yang sebenarnya hal itu dilakukan oleh bawahan atau pihak lain dan yang mana hal itu mungkin bertentangan dengan hati nurani dan tidak ada niat, apakah hal itu layak untuk dipidana atau dihukum ?
Teori hukum pidana tersebut (Mens rea & actus rea) menjadi sangat begitu penting untuk menentukan pertangungjawaban dari pelaku.
Perlu diingat bahwa setelah adanya putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 tentang korupsi adalah delik materil, artinya unsur memperkaya diri dan merugikan uang negara perlu dibuktikan secara.
Apalagi bila ada penangkapan (OTT) ditempat yang berbeda, tentunya KPK perlu berhati-hati dan kecermatan.
Lembaga Anti Korupsi (KPK) sebagai penegak hukum, untuk senantiasa bekerja atas dasar hati nurani, profesionalitas dan semangat anti korupsi. Sejatinya jika kita bongkar-bongkaran, masih banyak pelaku tindak korupsi yang berkeliaran dan berkelindan dimuka bumi nusantara yang secara perbuatannya lebih jelas dan tentunya sadis dalam hal merugikan keuangan negara.
Namun hal itu, tidak pernah diungkap dan ditindak dengan tegas berdasar hukum.
Jangan hanya karena adanya OTT Bupati Bogor (AY), lembaga anti rasuah (KPK) kehilangan wibawanya dikarenakan dihujani hujatan baik dari masyarakat umum maupun dari para pakar serta akademisi.
Apalagi dengan adanya pernyataan yang disampaikan langsung oleh Bupati Bogor saat ditanya oleh rekan-rekan wartawan pada saat sebelum konferensi pers di gedung putih, yang menyatakan bahwa "Saya Dipaksa Tanggung Jawab Atas Perbuatan Anak Buah saya".
R. Anggi Triana Ismail, SH Managing Director Kantor Hukum Sembilan Bintang