Bogor Times- Fatwa tidak wajib berhaji , Hadratussyekh KH Hasyim Asyari tidak terlepas dari kondisi perjuangan bangsa Indonesia terhadap penjajah.
Kondisi sosial politik zaman itu, mewajibkan umat Islam untuk mengangkat senjata dalam rangka melawan penjajah demi kemerdekaan sepenuhnya untuk negara Indonesia.
Dalam literasi tertuang pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad yang mewajibkan seluruh umat Islam maju ke medan tempur dalam peperangan di radius diperbolehkannya shalat untuk diqashar.
Baca Juga: 14 Jamaah Haji Indonesia Syahid, Banyak di Antaranya Terserang Jantung
Baca Juga: Jual Anak di Bawah Umur, Polisi Tangkap Dua Tersangka Human Trafficking
Baca Juga: Dugaan Korupsi Dana Bos di Sekolah SMAN 2 dan SMAN 4 Kota Depok
Untuk menghentikan perlawanan perang yang sedemikian kuat, perwakilan Belanda di Indonesia Van der Plas menyediakan fasilitas pemberangkatan haji dan menjamin keamanannya.
Tawaran demikian memang menggoda umat Islam Indonesia pada masanya. Karenanya, ada banyak orang juga yang tertarik untuk mendaftarkan dirinya untuk berangkat ke tanah suci. Namun, adanya fatwa Kiai Hasyim mengenai tidak wajib berhaji dan fardhu ain berperang membuat tawaran tersebut tidak berarti.
Abdul Mun’im DZ dalam Kiai Hasyim Mengharamkan Haji Politis dalam Fragmen Sejarah NU (2016: 271) mencatat ada dua hal yang menyebabkan pengeluaran fatwa itu.
Baca Juga: Kopri PB PMII Gandeng KPAI Gelar MoU Sinergitas Perlindungan Anak
Baca Juga: PB INSPIRA Kembali Menyalurkan Bantuan Kapolri Untuk Korban Banjir Bandang Cisarua Leuwiliang Bogor.
Baca Juga: Pelepasan Mahasiswa KKN, Rektor UNUSIA : Kabupaten Bogor Akan Bangga dengan UNUSIA
Pertama, Indonesia belum memiliki kapal untuk memberangkatkan rakyatnya berhaji. Jika berhaji dengan menggunakan fasilitas dari Belanda yang notabene adalah penjajah akan memberikan keuntungan bagi mereka dari sisi ekonomi.
Kedua, hal yang lebih para adalah keuntungan dari sisi politisnya, yakni keterpengaruhan masyarakat Indonesia lebih berpihak kepada pihak Belanda. Hal ini tentu akan menghambat laju kemerdekaan Indonesia sepenuhnya.
Selain itu, Hadratussyekh dalam hal ini tampak menerapkan konsep dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, yakni mendahulukan untuk menghindarkan kerusakan ketimbang meraih kemaslahatan.