Bogor Times- Kitab al-Muhith al-Burhany fi al-Fiqh al-Nu'many yang dinukil oleh Ibnu Nujaim (w. 970 H). Di dalam kitab tersebut, tepatnya juz 2, h. 362, Ibnu Marah menukil dari al-Qudury, bahwasanya:
"Ketika seorang muslim bekerja untuk seorang dzimmi untuk memeras anggur untuk dijadikan khamr, maka hukum pekerjaan ini adalah makruh.
Jikalau ia bekerja untuk membangun sebuah gereja, maka hukum bekerja itu tidak apa-apa dengan alasan karena dilihat dari sisi dhahir pekerjaan adalah bukan sebuah kemaksiatan.
Baca Juga: Dapati Pesantren Terbaik Untuk Anak dengan Mengenal Kitab Fiqih di Pesantren dan Jenjang Pembelajarannya
Baca Juga: Bolehkah Beri Bantuan Agama Lain dalam Pembangunan Tempat Ibadah?
Tidak apa-apa seorang muslim untuk menjalin komunikasi dengan seorang musyrik, baik tetangga dekat atau tetangga jauh, baik yang sedang atau dzimmi. Namun ada catatan, bahwa untuk kafir yang sedang, ada keinginannya untuk mencari suaka (musta'man). Adapun untuk kafir yang bukan dari kalangan pencari suaka (baca: kafir harby), maka tidak sepatutnya bagi seorang muslim untuk menjalin relasi/komunikasi.” (al-Muhith al-Burhany fi al-Fiqh al-Nu'many li Ibn Marrah, juz 2, h. 362).
Ibnu Abidin (w. 1252 H) dari Kalangan Hanafiyah Pendapat lain yang senada dengan pandangan kedua ulama di atas, adalah ada Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam Kitab Al-Durr al-Mukhtar dan Khasyiyah Ibn Abidin (6/291) ). Di dalam Hasyiyahnya, Ibnu Abidin (w. 1252 H) menyatakan:
"Jikalau ada muslim bekerja di sebuah gereja untuk mendirikannya, maka hukumnya adalah tidak apa-apa, dengan alasan karena sesungguhnya secara materi, bekerja bukan kemaksiatan." (Al-Durr al-Mukhtar dan Khasyiyah Ibn Abidin, juz 6, h. 291).***