Bogor Times- Oknum kelompok masyarakat diduga terlibat pelanggaran hukum jual beli lahan negara di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Hal itu diketahui oleh Komisi IV DPR RI.
Pelanggaran tersebut dilakukan dengan memanipulasi status pelepasan lahan kehutanan.
Anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono mengatakan, lahan tersebut merupakan lahan perhutanan sosial yang dijual ke sejumlah pihak kemudian dijadikan tambak produktif.
"Kami sedang teliti betul dan kami dengar juga ada yang sudah melaporkan ke pihak kepolisian terkait dengan jual beli tersebut," ujar Ono usai menghadiri reses anggota DPRD Jawa Barat Jejen Sayuti di Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Rabu 13 Juli 2022.
Terungkapnya praktik jual beli lahan negara ini berawal dari usulan enam desa di Muaragembong untuk melepaskan status kehutanan di wilayah paling utara di Kabupaten Bekasi ini.
Pelepasan ini diusulkan karena sebagian besar kawasan tersebut tidak lagi berupa hutan. Abrasi dan pencemaran lingkungan membuat hutan tidak tersedia.
Belakangan, usulan ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memperjualbelikan lahan. Semula, lahan milik negara ini dikelola oleh warga sekitar untuk membuat tambak. Namun, lahan tersebut rupanya tidak diperjualbelikan.
Ono menegaskan, praktik ini bertolak belakang dengan upaya Presiden Joko Widodo terkait persoalan kehutanan dan juga reformasi agraria.
"Ini yang menjadi fokus kami di Komisi IV. Praktik jual beli ini jelas dilarang dan jadi bahan bahasan agar tidak terulang kembali di wilayah lainnya," ucap dia.
Lebih lanjut diungkapkan Ono, pemerintah sebenarnya telah menggulirkan program Perhutanan Sosial.
Program ini mempersilakan masyarakat untuk mengelola lahan negara hingga 35 tahun ke depan. Terdapat 1,1 juta hektare lahan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
"Ini angka secara nasional. Sedangkan untuk Jawa Barat sendiri masih dihitung luasnya dan lokasinya di mana saja. Namun, program ini akan sangat membantu masyarakat untuk mengelola lahan dengan tidak menyalahi aturan," ucap dia.
Dari jutaan hektar lahan yang disiapkan, lanjut Ono, masyarakat dapat mengelola lahan tersebut maksimal dua hektar per orang. Lalu, pengelolaannya dapat diwariskan selama waktu pengunaannya mencukupi.
"Misalkan belum 35 tahun, bisa diwariskan ke keturunannya, yang penting maksimal 35 tahun," ucap dia.
Namun demikian, diakui Ono, program ini masih menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya, ada kekhawatiran jika pengelolaan lahan akan dimonopoli oleh sejumlah pihak sehingga masyarakat sekitar tidak mendapatkan haknya.
Untuk itu, lanjut dia, perlu ada pendampingan kepada masyarakat agar mereka mendapatkan hak yang sama dalam mengelola lahan hutan.
"Jangan sampai warga yang bukan KTP sekitar tidak mendapat haknya. Kemudian jangan lupa dari program ini ada kewajiban untuk menghijaukan kembali lahan yang dikelola tersebut," ucap dia.
Anggota Komisi II DPRD Jawa Barat Jejen Sayuti menegaskan, pemerintah daerah baik Jawa Barat maupun Kabupaten Bekasi harus turut mengusut dugaan praktik jual beli lahan di Muaragembong. Soalnya, praktik ini melibatkan masyarakat yang menjadi korban.
"Masyarakat sendiri bisa jadi tidak tahu makanya harus segera ditangani," ucap dia.***