Bogortimes- Perjuangan panjang yang dilakukan oleh mereka para aliansi mahasiswa, buruh serta masyarakat sipil lainnya. Untuk meruntuhkan pola kepemimpinan yang bergaya otoriter, reformasi tahun 1998 ditebus dengan jutaan keringat yang mengalir dikening mereka, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Mereka lakukan itu semua demi Indonesia tercinta.
Pasca Orde Baru telah lahir sistem kenegaraan yang di elu elukan dengan harapan memberikan nafas lega bagi masyrakat yang hidup didalamnya, sistem itu dikenal dengan demokrasi. Warisan pristiwa 98 berhasil memframing negara yang majemuk itu sebagai negara penganut sistem Demokrasi terbesar di Asia, bahkan menjadi tolak ukur bagi negara negara lain. Indonesia Memiliki lima point penting idiologi (Pancasila ) yang melembaga menjadi karakter kuat nafas dan falsafah Bangsa
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dipilih oleh negara yang kaya akan suku dan budaya itu, karena melihat maknanya sendiri. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. sehingga dengan sistem itu memberikan harapan besar agar menjadikan rakyat jauh dari kata melarat. Pendidikan mudah didapat sampai menjadi mayat, dan menjadikan bangsa yang bermartabat. Dengan memilih nahkoda yang siap berkhidmat.
Namun kini, harapan dan cita cita besar itu hanya dapat disentuh dengan sekejap, tanpa bisa memiliki seutuhnya. Demokrasi yang semula diperjuangkan dengan tetesan keringat dan darah, justru melahirkan kekecewaan serta jeritan kesengsaraan rakyat kecil. Kesucian makna demokrasi telah diperkosa oleh mereka para cebong cebong buntung yang tidak bertanggung jawab atas perbuatannya.
Singgah sana kekuasaan untuk mensejahterakan telah berpindah haluan dengan banyaknya jeritan kesengsaraa. Tindakan korupsi seakan tidak pernah habis untuk diselesaikan, entah karena tidak mampu untuk menyelesaikan atau justru telur telur cebong buntung terus berkembang biak?.
Menciptakan keadilan yang seharusnya menjadi karakter kuat hukum yang ada dinegara ini dicedrai dengan praktik hukum tebang pilih. Dalam istilah lain kekuatan hukum seakan hanya tajam kebawah sedangkan ke arah atas, kekuatan itu menjadi tumpul. Tentu saja hal itu sudah keluar dari rulles negara yang menganut sistem demokrasi jika hukum tidak mampu untuk bekerja jangan salahkan kami ketika tindakan anarki tepat didepan mata.
Partisipasi publik seolah dianggap selesai terpenuhi, ketika masyrakat telah mewakafkan suaranya pada parlemen saat pemilihan umum sedangkan pasca PEMILU. Suara rakyat seakan dibungkam dan ditenggelamkan. Padahal ketika suatu negara menganut sistem pemerintahan demokrasi maka rakyatlah selaku pemegang kekuasaan tertinggi.
Kondisi itu diperparah dengan adanya praktik transaksi hak publik saat proses pemilihan umum sedang berlangsung. Bahkan, peristiwa diatas dianggap sebuah kewajaran bagi mereka para elit politik yang sedang berkontestasi untuk mendapatkan singgah sana kekuasaan. Cristanto Utama (2019) dalam salah satu web mencatat bahwa negara ini termasuk kedalam negara dengan biaya pemilihan umum terbesar didunia. Terbukti saat pemilihan 2019 kemarin tercatat sebanyak 25 Triliun anggaran yang harus dikeluarkan untuk berjalannya pemilihan umum.
Pristiwa diatas tentu saja memberikan output pada maraknya tindakan korupsi, karena mereka yang terpilih dengan hasil politik uang memiliki kepentingan untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan. Kondisi ini memberi tanda bahwa kebebasan memilih nahkodah yang seharusna menjadi hak rakyat seakan bisa dibeli dengan hanya memberikan uang dan sembako.
Maka sebagai seorang mahasiswa yang memegang jabatan tertinggi dikalangan para pelajar sudah seharus bertanggung jawab atas jabatan yang telah diterimanya itu. Salah satunya dengan terus berupaya mengembalikan demokrasi pada jalan yang seharusnya ditempuh. Agar senantiasa cita cita besar dari demokrasi yang ada dinegara ini dapat terpenuhi, sehingga mengubah jeritan kesengsaran menjadi senyuman kebahagiaan.