Bogor Times-Tempat wisata yang juga dapat dijadikan tempat edukasi budaya masih teta terjaga.
Seperti Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar. Di sana berjajar puluhan rumah panggung berdinding kayu dan beratapkan rumbia atau kirai.
Bangunan kecil bernama leuit atau tempat menyimpan padi dibangun saling berdampingan. Di sekeliling kawasan kampung adat adalah gunung, hutan, kebun dan sawah berundak.
Baca Juga: Sandiaga Uno Dorong Milenial Untuk Ambil Peluang Lewat Metaverse
Sehari-hari, kaum pria memakai pangsi dengan kepala terbungkus iket. Sementara kaum wanita mengenakan kebaya. Mayoritas masyarakat penghuni kampung adat adalah petani.
Kasepuhan Ciptagelar berada di kaki Gunung Halimun-Salak dan masuk ke wilayah administrasi Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Baca Juga: Tingkatkan Sinergitas Pergerakan, KOPRI Komisariat PMII UNUSIA Gelar Sekolah Islam Gender III
Dari pusat kota Palabuhanratu, lokasi itu bisa dijangkau dalam waktu sekira dua jam. Setidaknya Kasepuhan Ciptagelar masih berada di lokasi itu sebelum turun wangsit guna menjadikan Kampung Gede sebagai pusat kasepuhan kembali pindah ke tempat baru untuk bermukim.
Generasi pertama tahun 1368 berasal dari Cipatat, Bogor. Sejak saat itu, ketua adat berganti secara turun-temurun dan kampung adat terus berpindah tempat.
Dari Cipatat Bogor beralih ke Lebak Larang, Lebak Binong, Tegal Lumbu, Pasir Jinjing, Bojong Cisono, hingga Sirna Rasa.
Baca Juga: BPBD Mencatat Gempa Hancurkan 1.100 rumah
Terakhir, pada pertengahan 2001, dari di Kampung Ciptarasa di Desa Sirnarasa, berpindah ke Desa Sirnaresmi yang berjarak sekira 12 kilometer.
Perpindahan itu mau tak mau harus dilakukan karena berbagai pertimbangan. Di Desa Sirnaresmi, tepatnya di Kampung Sukamulya, Abah Anom selaku ketua adat menamai Desa Ciptagelar sebagai tempat pindah baru.
Mendiang Abah Anom adalah ayah dari pemimpin kampung adat Kasepuhan Ciptagelar saat ini, yakni Abah Ugi Sugriana Rakasiwi.
Baca Juga: Survei Kepuasan Kepemimpinan Jokowi Maruf Amin Capai Angka 90 Persen
Abah Ugi adalah generasi ke-10, keturunan dari pemimpin sebelumnya, Abah Encun Sucipta atau lebih dikenal Abah Anom yang wafat pada 2007.
Dari generasi pertama hingga saat ini turun ke Abah Ugi, tradisi yang paling menonjol adalah nilai-nilai budaya menanam dan menyimpan padi.
Bahkan tradisi itu pun telah diturunkan ke generasi berikutnya. Mulai dari memilah benih, penanaman, panen sampai menyimpan padi, semuanya dilakukan secara tradisional.
Baca Juga: Longsor di Sumedang, Warga Berteriak Takbir Sambil Berhampur Keluar
Baca Juga: Sudah Ada Lama Sebelum Indonesia Berdiri, Negara Harus Akui Otonomi Masyarakat Adat
Padi ditanam hanya setahun sekali. Pasokan yang ada saat ini bisa untuk lima sampai enam tahun mendatang.
”Kita menanam padi itu cukup setahun sekali saja, terus hasilnya disimpan di lumbung padi untuk bekal kehidupan sehari-hari. Tidak boleh dijualbelikan. Dari zaman dulu sampai sekarang tetap kebiasaan itu diturunkan terus-terusan,” ujar Abah Ugi, Jumat 14 Januari 2022 saat ditemui di Imah Gede.
Baca Juga: Longsor di Sumedang, Warga Berteriak Takbir Sambil Berhampur Keluar
Abah Ugi menuturkan, saat ini sudah ada sekira 168 varietas padi yang disebar kepada warga Ciptagelar.
Bibitnya berbeda dari yang umum beredar di Indonseia, diperlakukan secara alami dan tradisional tanpa bahan kimia buatan. Gabah disimpan di lumbung dan ada yang bisa bertahan 20-50 tahun.
”Kuncinya ada di bibit. Padi pada umumnya itu 2-3 bulan sudah bisa panen, kalau di sini yang ditanam itu masih menunggu sampai 7 bulan baru bisa dipanen,” katanya.
Baca Juga: Perkembangan Ekonomi Kreatif Di Indonesia
Abah Ugi memaparkan, sejak tahun 1368, masyarakat adat yang tersebar di Sukabumi, Bogor, dan Banten kurang lebih 30.000 jiwa. Kasepuhan Ciptagelar tetap menjadi pusat dari sekira 568 kampung adat yang tersebar di tiga wilayah tersebut.
”Masyarakat adat tidak dibatasi oleh batas pemerintahan. Dari zaman dulu sampai sekarang, mau di mana pun sama kalau kampung adat,” kata Abah Ugi.
Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar pada masa Abah Ugi terbilang hidup di tengah derasnya perkembangan modernisasi dan teknologi informasi.
Baca Juga: Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar Serat Nuansa Pasundan
Di satu sisi, Abah Ugi dan masyarakat kampung adat tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang diturunkan leluhur.
Di sisi lain, Abah Ugi tak alergi dengan perkembangan teknologi masa kini. Menurut dia, hal yang terpenting adalah bagaimana memilih dan memilah teknologi, yang membawa manfaat, dan yang sama sekali dilarang.
”Yang penting kita kasih tahu bahwa plus-minusnya dampak teknologi itu seperti ini. Banyak mengobrol dengan anak-anak kita untuk masalah teknologi modern. Untuk teknologi modern, kalau ada yang sama sekali tidak boleh digunakan oleh kami, kami sebisa mungkin menghindari itu semua,” kata Abah Ugi.
Baca Juga: Banjir Bandang Terjang Kabupaten Garut, Kecamatan Selaawi Terendam
Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar sudah memiliki pasokan listrik sendiri yang bersumber dari pembangkit listrik mikrohidro yang terbarukan dan ramah lingkungan. Ada juga sinyal internet yang disediakan salah satu provider. Bahkan ada fasilitas WiFi berbayar.
Sampai saat ini, jaringan internet dikelola sendiri oleh Kasepuhan Ciptagelar, bisa dinikmati warga di enam desa di seputaran Ciptagelar.
Ada tim yang mengelola akun media sosial Facebook dan Instagram Kasepuhan Ciptagelar. Ada pula kanal YouTube milik Kasepuhan Ciptagelar bernama Ciga TV serta stasiun radio bernama Radio Swara Ciptagelar (RSC) 107.7 FM.
Baca Juga: Komedian Tukul Arwana Tengah Sakit, Simak Kabar dari Temon Rekannya
”Mulai 2009, ada faktor kebetulan, ada yang lewat dari suatu operator di Indonesia, kami ngomong ingin ada jaringan. Dari situ dibangun dan sampai sekarang berjalan,” katanya.
Selain berpegang pada hukum adat, Abah Ugi maupun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar berpegang pada hukum agama dan hukum negara atau undang-undang. Untuk hukum adat, warga Ciptagelar harus menjaga alam.
”Jika misalnya warga merusak alamnya, kita mungkin di sini akan terkena dampaknya. Kalah di hukum negara, undang-undang pemerintahan kalau kena sanksi itu dihukum. kalau hukum adat hukumnya terasa oleh dirinya sendiri, istilah zaman dulunya itu namanya kabendon, kualat karena melanggar suatu aturan adat. Jadi dikembalikan pada diri kita masing-masing,” ujarnya.
Baca Juga: Wow, Indonesia Jadi Pasar Besar bagi Industri Kreatif Digital, Hingga 73,7 Persen Populasi Pengguna Internet
Abah Ugi juga menyebut peribahasa yang populer di kampung adat, bunyinya ”Genteng ku kadekna, legok ku tapakna, cilaka ku amal perbuatanna”.
Kurang lebih maknanya adalah segala macam perbuatan dikembalikan pada diri sendiri.
”Bergantung kesadaran warga di sini dan dari zaman dulu sampai sekarang itu yang dipertahankan,” tuturnya.
Hukum adat pula yang menjaga Kasepuhan Ciptagelar tak terdampak oleh Covid-19. Tak ada warga kampung adat yang terjangkit virus tersebut.
”Terus terang karena kita ada di pegunungan, kami tidak berbaur ke kota, kami membatasi untuk kunjungan saja. Sehingga kami terhindar dari Covid-19. Itu Covid-19 pertama, kami ikut juga prokes dan sebagainya, termasuk vaksin, kami juga ikut,” kata Abah Ugi seraya bersyukur hingga saat ini saat ini tidak pernah terdengar ada masalah Covid-19 di Ciptagelar.***