Bogor Times- Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Salah satu produk dari sistem demokrasi adalah demonstrasi. Ada berbagai macam pendapat yang berasal dari ulama mengenai hukum melakukan demonstrasi itu sendiri. Ada yang menyatakan haram, ada yang halal, dan sebagainya.
KH Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha mengutarakan pandangannya mengenai hukum dari demonstrasi. Ia menjelaskan pandangannya saat menjawab pertanyaan dari jamaah di acara Ngaji Mahasantri Milenial Bersama Gus Baha yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, Sabtu (12/10).
Dalam kesempatan itu, penanya yang merupakan seorang mahasiswi dan santri ini menanyakan hukum melakukan demonstrasi sebagai perwujudan dari hubbul wathan minal iman.
Oleh kiai yang lebih dikenal dengan nama Gus Baha ini menjelaskan bahwa demonstrasi memiliki makna pokok berupa memperlihatkan. Dalam Islam sendiri hukum demonstrasi itu sangat fleksibel. Bisa boleh dan bisa berujung pada keharaman.
"Demonstrasi itu kan makna pokoknya itu memperlihatkan. Sehingga kan dalam Islam itu fleksibel. Asal itu tidak merugikan orang lain, tidak anarkis, tidak madharat bagi kelompok lain tentu boleh," jelas Gus Baha.
Kiai asli Kragan Rembang, Jawa Tengah ini melanjutkan, dalam negara demokrasi, warga negaranya sebaiknya menyuarakan aspirasinya. Jika tidak menyampaikan aspirasinya, itu malah bisa berujung pada kesalahan dalam bernegara.
"Bahkan kalau kita tidak menyuarakan, tentunya dengan cara-cara yang Islami ya, itu kita malah disalahkan, karena berarti kita tidak ikut bertanggung jawab terhadap proses bernegara. Tapi harus disuarakan secara konstitusional dan secara baik," tukasnya.
Kiai yang merupakan santri dari almaghfurlah KH Maimoen Zubair ini menceritakan tentang Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang meminta izin saat akan mengikuti demo di Yogya tempo hari.
"Kemarin pas demo Jogja, Rektor UII ketemu saya dan pamit. 'Gus, mau demo,'. 'Ya, tapi yang baik dan sopan,' kata saya," ceritanya.
Sambil mengutip surat Al-Baqarah ayat 251, Gus Baha menyatakan segala jenis kekuatan itu hendaknya ada yang mengontrolnya, dan bentuknya bisa bermacam-macam.
"Karena begini ya, di Al-Qur'an ada ayat wa laula daf'ullahin naasa ba'dlohum biba'dlin lafasadatil ardl (Al-Baqarah ayat 251 ,red). Jadi kekuatan apapun itu harus dikontrol. Tentu kontrol itu macam-macam. Tapi saya ulangi lagi, jangan anarkis, jangan melakukan yang sesuatu yang kontra produktif," tegasnya.
Mengenai perbedaan pendapat tentang hukum melakukan demonstrasi, kiai yang juga Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini mengatakan bahwa perbedaan itu sudah biasa dalam fiqih.
"Kalau demo yang diharamkan oleh sebagian ulama itu adalah demo yang anarkis, sedangkan yang diperbolehkan itu maknanya yang tertib. Itu biasa di hukum fiqih," ungkapnya.
"Artinya kalau demonstrasi itu dengan makna mengutarakan pendapat, dengan cara yang dijamin konstitusi, itu kan normal-normal saja dan tidak ada masalah. jadi saya rasa seperti itu," pungkasnya.
KH Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha mengutarakan pandangannya mengenai hukum dari demonstrasi. Ia menjelaskan pandangannya saat menjawab pertanyaan dari jamaah di acara Ngaji Mahasantri Milenial Bersama Gus Baha yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, Sabtu (12/10).
Dalam kesempatan itu, penanya yang merupakan seorang mahasiswi dan santri ini menanyakan hukum melakukan demonstrasi sebagai perwujudan dari hubbul wathan minal iman.
Oleh kiai yang lebih dikenal dengan nama Gus Baha ini menjelaskan bahwa demonstrasi memiliki makna pokok berupa memperlihatkan. Dalam Islam sendiri hukum demonstrasi itu sangat fleksibel. Bisa boleh dan bisa berujung pada keharaman.
"Demonstrasi itu kan makna pokoknya itu memperlihatkan. Sehingga kan dalam Islam itu fleksibel. Asal itu tidak merugikan orang lain, tidak anarkis, tidak madharat bagi kelompok lain tentu boleh," jelas Gus Baha.
Kiai asli Kragan Rembang, Jawa Tengah ini melanjutkan, dalam negara demokrasi, warga negaranya sebaiknya menyuarakan aspirasinya. Jika tidak menyampaikan aspirasinya, itu malah bisa berujung pada kesalahan dalam bernegara.
"Bahkan kalau kita tidak menyuarakan, tentunya dengan cara-cara yang Islami ya, itu kita malah disalahkan, karena berarti kita tidak ikut bertanggung jawab terhadap proses bernegara. Tapi harus disuarakan secara konstitusional dan secara baik," tukasnya.
Kiai yang merupakan santri dari almaghfurlah KH Maimoen Zubair ini menceritakan tentang Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang meminta izin saat akan mengikuti demo di Yogya tempo hari.
"Kemarin pas demo Jogja, Rektor UII ketemu saya dan pamit. 'Gus, mau demo,'. 'Ya, tapi yang baik dan sopan,' kata saya," ceritanya.
Sambil mengutip surat Al-Baqarah ayat 251, Gus Baha menyatakan segala jenis kekuatan itu hendaknya ada yang mengontrolnya, dan bentuknya bisa bermacam-macam.
"Karena begini ya, di Al-Qur'an ada ayat wa laula daf'ullahin naasa ba'dlohum biba'dlin lafasadatil ardl (Al-Baqarah ayat 251 ,red). Jadi kekuatan apapun itu harus dikontrol. Tentu kontrol itu macam-macam. Tapi saya ulangi lagi, jangan anarkis, jangan melakukan yang sesuatu yang kontra produktif," tegasnya.
Mengenai perbedaan pendapat tentang hukum melakukan demonstrasi, kiai yang juga Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini mengatakan bahwa perbedaan itu sudah biasa dalam fiqih.
"Kalau demo yang diharamkan oleh sebagian ulama itu adalah demo yang anarkis, sedangkan yang diperbolehkan itu maknanya yang tertib. Itu biasa di hukum fiqih," ungkapnya.
"Artinya kalau demonstrasi itu dengan makna mengutarakan pendapat, dengan cara yang dijamin konstitusi, itu kan normal-normal saja dan tidak ada masalah. jadi saya rasa seperti itu," pungkasnya.