Ulama 4 Mazhab Non-Muslim Tempat Ibadah Non-Hukum Jumat 20 September 2019 | 04:00 WIB BAGIKAN: Saat ini, film “The Santri” sedang ramai dibicarakan oleh khalayak umum. Banyak pihak mengapresiasi adanya film tersebut, tapi tidak sedikit pihak yang menolak film yang dimaksud. Pihak yang menolak film tersebut, umumnya merasa merasa di atas adegan “dua perempuan berjalan membawa setampah nasi tumpeng untuk diserahkan ke pemuka gereja”. Mereka berasumsi bahwa hukum memasuki gereja bagi seorang Muslim adalah haram. Akan tetapi, jika kita menelaah literatur kitab-kitab fiqih klasik maka akan menemukan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang Muslim memasuki tempat-tempat ibadah non-Muslim, seperti gereja, wihara, dan sinagog. Pertama, ulama mazhab Hanafi menyatakan, hukum memasuki tempat ibadah non-Muslim adalah makruh. Syekh Ibnu Abidin dalam kitab Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar menyebutkan: لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ
"Bagi seorang Muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh." (Lihat: Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 1, h. 380). Senada dengan Ibnu Abidin, Syekh Ibnu Nujaim Al-Mishry dalam kitabnya Al-Bahrur Ra'iq Syarh Kanzud Daqaiq menegaskan:
لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ الْبِيعَةِ الْكَنِيسَةِ. الظَّاهِرُ ا “Bagi seorang Muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh. Dan, hal itu adalah makruh tahrim (mendekati haram)” (Ibnu Nujaim Al-Mishry, Al-Bahrur Ra'iq Syarh Kanzu Daqaiq, juz 8, h. 374). Kedua, mayoritas ulama, meliputi ulama mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafi'i menyatakan, seorang Muslim boleh memasuki tempat ibadah non-Muslim. Ulama bermazhab Maliki bernama Syekh Abdus Sami' Al-Abi Al-Azhari menuturkan:
مَعْبَدُهَا لِزَوْجِهَا الْمُسْلِمِ لُهُ ا “Yaitu tempat ibadah, baik berupa gereja atau sinagog. Dan suaminya yang Muslim boleh memasukinya (tempat ibadah istri) bersama istrinya.” (Lihat: Abdus Sami' Al-Abi Al-Azhari, Jawahirul Iklil, juz 1, h.383). Ulama bermazhab Maliki yang lain bernama Ibnu Rusyd Al-Qurtubhi juga menuliskan dalam kitabnya Al-Bayan Wat Tahshil: وَرَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ أَنَّ مَالِكًا سُئِلَ عَنْ أَعْيَادِ الْكَنَائِسِ فَيَجْتَمِعُ الْمُسْلِمُونَ لُونَ لَيْهَا الثِّيَابَ الْأَمْتِعَةَ لِكَ. الَ: لَا لِكَ "Ibnu Qasim bercerita, imam Malik ditanya tentang upacara di gereja, di mana umat Islam berkumpul lalu membawa baju, perhiasan, dan barang-barang lain menuju gereja untuk menjualnya di sana. Dia berkata: Hal itu tidak apa-apa ." (Lihat: Ibnu Rusyd Al-Qurtubhi, Al-Bayan Wat Tahshil, juz 4, h. 168-169). Seirama dengan kedua ulama mazhab Maliki di atas, seorang ulama bermazhab Hanbali, Syekh Ibnu Qudamah juga menyatakan kebolehan memasuki tempat ibadah agama lain. Bahkan beliau membolehkan seorang Muslim melaksanakan shalat di gereja yang bersih. لَا الصَّلَاةِ الْكَنِيسَةِ النَّظِيفَةِ، ا الْحَسَنُ الْعَزِيزِ الشَّعْبِيُّ الْأَوْزَاعِيُّ الْعَزِيزِ ا ابْنُ اسٍ الِكٌ الْكَنَائِسَ؛ لِ الصُّوَرِ لَناَ: "أَنَّ النَّبِيَّ لَّى اللَّهُ لَيْهِ لَّمَ لَّى الْكَعْبَةِ ا " اخِلَةٌ لِهِ لَيْهِ السَّلَامُ: ا الصَّلَا الَةٌ لِهِ لَيْهِ السَّلَامُ: ا الصَّلَاةُ bin Abdul-Hasan Awza'i dan Sa'id bin Abdul Azis, serta riwayat dari Umar bin Khattab dan Abu Musa, mengatakan tidak mengapa shalat di dalam gereja yang bersih. Namun Ibn Abbas dan Malik memakruhkannya karena ada gambar di dalam gereja. Namun bagi kami (Ibn Qudamah dan ulama yang sepaham dengannya) Nabi Saw pernah shalat di dalam Ka'bah dan di dalamnya ada gambar. Ini juga termasuk dalam sabda Nabi: “jika waktu shalat telah tiba, lakukan di manapun, karena di mana pun bumi Allah adalah masjid. (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 2, h. 478). Syekh Ibnu Muflih juga menuturkan: لَهُ لُ بِيعَةٍ ا الصَّلَاةُ لِكَ. الَ ابْنُ لَا بَأْسَ لِ الْبِيَعِ الْكَنَائِسِ الَّتِي لَا صُوَرَ ا الصَّلَاةِ ا “Dan seorang Muslim diizinkan memasuki sinagog, gereja, dan sebagainya, serta boleh melaksanakan shalat di dalamnya. Ibnu Tamim berkata: “Tidak apa-apa memasuki sinagog dan gereja yang di dalamnya tidak terdapat gambar, serta diperbolehkan shalat di dalamnya.” (Lihat: Ibnu Muflih, Al-Adab Al-Syariyyah, juz 4, h. 122). Ketiga, sebagian ulama mazhab Syafi'i berpendapat, seorang Muslim tidak boleh memasuki tempat ibadah non-Muslim kecuali jika ada izin dari mereka. Artinya, jika mereka mengizinkan maka ia boleh memasuki tempat ibadah tersebut. Syekh Muhammad bin Khatib As Syarbini menyebutkan: لَا لِلْمُسْلِمِ لُ كَنَائِسِ لِ الذِّمَّةِ لَّا . لِكَ الْجَوَازُ بِالْإِذْنِ لٌ لَى مَا ا لَمْ تَكُنْ ا "Seorang Muslim tidak diizinkan memasuki gereja-gereja Ahli Dzimmah kecuali atas izin mereka. Artinya, hal itu diizinkan mana kala ada izin. Namun kebolehan melakukan hal itu, jika di dalam gereja tersebut tidak terdapat gambar." (Lihat: Muhammad bin Khatib As Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz 4, h. 337). Syekh Al-Qalyubi juga menuliskan: لَا يَجُوزُ لَنَا دُخُولُهَا لَّا بِإِذْنِهِمْ انَ ا لَقًا، ا لُّ بَيْتٍ “Kita tidak diperbolehkan memasuki gereja kecuali atas izin mereka, sedangkan di dalam gereja tersebut ada gambar maka hukum memasukinya haram secara mutlak. Begitu pula, haram memasuki setiap rumah yang ada gambarnya.” (Lihat: Al-Qalyubi, Hasyiyatal Qalyubi wa Umairah, juz 4, halaman 492). Dari pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa para ulama berbeda dengan pendapat tentang hukum seorang Muslim memasuki tempat ibadah non-Muslim. Menurut mazhab Hanafi hukumnya makruh, menurut mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafi'i hukumnya boleh, sedangkan menurut sebagian ulama lain dari mazhab Syafi'i hukumnya tidak boleh, kecuali ada izin dari mereka. Adanya perbedaan pendapat para ulama terkait hukum tempat ibadah non-Muslim bagi seorang Muslim merupakan bukti bahwa Islam menghargai keragaman. Terhadap Keragaman ini, Islam mengajarkan umatnya untuk toleransi dan saling menghargai. Wallahu a'lam. Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba'ul Ma'arif Tulungagung dan Dosen IAIN Tulungagung.**