Bogor Times- Era saat ini, berpakaian seakan menjadi ukuran seseorang telah berhijrah. Cukup dengan herhijab dan totalitas meninggalkan busana lama, seseorang dapat dikatakan sah berhijrah. Padahal tidak semudah itu.
Pentingnya peralihan busana seronok pada busana syari memanglah penting namun terpenting dari itu adalah hijrah pikiran dan mengajak orang lain.
Hal tersebut disampaikan oleh Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Malang KH Achmad Dhofir Zuhry atau Gus Dhofir.
"Jauh lebih penting adalah hijrah pola pikir dengan mengajak orang lain. Nabi sendiri melibatkan orang tua yaitu Abu Bakar, dari kalangan perempuan namanya Asma' yang bertugas membawa bekal, melibatkan penghapus jejak unta," kata Gus Dhofir kanal YouTube NU Online, Senin, 25 Juli 2022.
Gus Dhofir memaknai hijrah secara hakiki, di tengah pemahaman masyarakat tentang hijrah secara atributif.
Banyak orang menganggap hijrah sebatas sudah memakai cadar, memakai celana cingkrang, dan jidatnya sudah menghitam.
“Ini hanyalah makna hijrah secara atributif yang hanya pernak-pernik saja, dan nilai komersilnya lebih dari 22 miliar dolar di seluruh dunia. Indonesia menjadi konsumen nomor tiga,” tuturnya dalam Kajian Tafsir Tematik yang bertajuk Hijrah: Menjadi Pribadi yang Lebih Baik tersebut.
Gus Dhofir mengatakan, hakikat hijrah secara maknawi yakni berpindah dari pola pokir lama yang buruk, akhlak dan kebiasaan yang buruk, menuju lebih baik.
“Tidak hanya dimaknai secara atributif atau berpindah tempat saja,” ungkapnya.
Menurut dia, jika ingin berhijrah maka silakan meniru sunnah dari cara berpikir Rasulullah saw. Sebab, kata Gus Dhofir, pemikiran adalah induk dari perbuatan. Tirulah cara Nabi Muhammad mempertemukan dan menyatukan kaum Muhajirin dan Ansor di Madinah.
“Itulah kecerdasan profetik dan cara berpikir Rasulullah. Sunnah sendiri maknanya jalan atau kebiasaan tradisi. Jadi, kalau mau sunnah yang paling baik ya ikuti saja cara berpikir nabi,” terangnya.
Gus Dhofir menambahkan bahwa tentu cara berpakaian, cara makan, dan bertutur kata Rasulullah juga merupakan sunnah.
Akan tetapi, jangan lupa bahwa cara berpikir nabi juga perlu dipelajari. “Nabi kita adalah jamalul aql atau akalnya indah sekali. Jadi, cara berpikir beliau sangat keren dan filosofis,” ungkap penulis buku Best Seller Peradaban Sarung ini.***