• Minggu, 24 November 2024

Sholat Istiqoroh Orang Bodoh Jadi Abal-abal

- Senin, 22 Agustus 2022 | 03:05 WIB

Bogor Times- Beberapa tahun lalu, salah seorang dosen saya di Ma’had Aly Situbondo pernah bercerita tentang seorang gadis kota yang dilamar oleh seorang pria desa kelahiran Madura.

Hubungan mereka yang telah dirajut rapi dalam waktu yang tak singkat itu, berakhir nestapa lantaran membebek pesan istikharah yang disalahpahami.

Ceritanya, perempuan kota yang intelektual dan spiritualnya lahir dari rahim pesantren tersebut tidak langsung menerima lamaran kekasihnya. Ia memang mengangguk saat dilamar, namun masih disusuli kata ‘tapi’.

Sebesar apa pun cinta yang ia pendam, tetaplah terasa ganjil bila belum sujud di sajadah istikharahnya terlebih dahulu.

Karena baginya, pernikahan adalah ukiran cerita keabadian; ia laksana pakaian yang akan selalu dikenakan bahkan sampai dasar liang kuburnya. Tak akan pernah tergantikan, walau badan telah berselimut kafan.

Prinsip besar itulah yang mendorong dirinya harus berkonsultasi dengan Tuhan terlebih dahulu. Singkat kisah, beberapa hari kemudian, pria Madura itu mendapat kabar yang menurutnya tak semestinya ia dengar.

Melalui suara yang tak asing dari balik telepon genggam, kekasihnya mengabari bahwa petuah shalat istikharahnya tidak bagus, bahkan sangat buruk dibanding hasil shalat istikharahnya dengan lelaki tetangga sebelah.

Ia bercerita, pada malam hari selepas shalat istikharah, ia bermimpi berjalan ke suatu tempat yang sungguh amat jauh. Akses menuju tempat tersebut pun berliku-liku, turun-naik dan cukup terjal dengan kondisi jalan yang penuh lubang.

Melihat perjalanan alam bawah sadarnya, ia memutuskan bahwa pria Madura yang berada di kejauhan sana, tak baik baginya. Hidupnya akan melarat-sengsara jika meneruskan lamaran tersebut ke jenjang pernikahan.

Sudi atau tidak, seketika juga ia harus mengakhiri jalinan indah itu dan membiarkannya menjadi kenangan menyakitkan yang mengiris relung hati mereka perlahan.

Padahal, setelah berpikir panjang, pria tadi menyadari satu tafsir lain atas mimpi kekasihnya. Pengertian jalan terjal, berliku-liku lagi berlubang dalam mimpi itu, ternyata bukan tentang penghidupan yang serba sulit. Tapi tentang gambaran akses menuju rumahnya yang berada di tengah pedalaman, pelosok juga jauh dari sinyal dan listrik.

Tetapi, sayang seribu sayang, beras sudah jadi tumpeng, nasi pun sudah jadi bubur, dan senja sore itu telah tenggelam. Ia sangat menyesalkan dirinya yang tidak memberi tahu kondisi akses menuju gubuknya, dan sangat membenci cara tafsir kekasihnya yang gagap-buta itu.

Syahdan, dari cerita ini, penting kiranya kita merumuskan kembali bagaimana peran istikharah di hadapan persoalan demi persoalan dan kebimbangan yang kita hadapi. Dan, haruskah memiliki kapabilitas mumpuni untuk beristikharah?

Dalam Islam, kita diajarkan dua pendekatan untuk menghadapi setiap persoalan; (1) musyawarah dan (2) istikharah. Keduanya sama-sama penting, wajar saja dua pendekatan ini mendapat kursi khusus dari perhatian legislator syariat.

Ada satu hadits menarik—kendati masih dipersoalkan kualitas kesahihannya—yang dikutip al-Quthb ar-Rabbani Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitab Risalatul Mu’awanah wal Muzhaharah wal Muadzarah (hal. 114). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Rajab Ahirullah

Rekomendasi

Terkini

Wajib Tau, Penyebab Kemiskinan Pendapat Ulama

Selasa, 8 Oktober 2024 | 10:18 WIB
X