Bogor Times- Persoalan pencatutan nama dan data warga oleh partai politik tidak diatur sebagai tindak pidana pemilu oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Namun, perbuatan tersebut jelas merupakan pelanggaran serius yang harus ditindak tegas.
“UU Pemilu mengategorikan perbuatan tersebut sebagai pelanggaran administratif pemilu, yaitu pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme pemilu yang sanksinya bisa diputus Bawaslu,” ujar anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam keterangan tertulis, Minggu 4 Aeptember 2022.
Menurut Titi, Bawaslu semestinya tidak berhenti pada penindakan sebagai pelanggaran administrasi.
Bawaslu sebenarnya bisa menindaklanjuti kasus tersebut dengan menggunakan undang-undang lainnya yang relevan.
Titi menyebutkan, UU Administrasi Kependudukan yang terkait manipulasi data kependudukan. Ini sebagaimana pengaturan Pasal 455 Ayat (1), huruf c, UU Pemilu yang menyebut pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang bukan pelanggaran pemilu, bukan sengketa pemilu, dan bukan tindak pidana pemilu, diproses pengawas pemilu dan/atau diteruskan kepada instansi atau pihak yang berwenang.
Sebagaimana diketahui, UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan ada yang mengatur tentang sanksi pidana terkait manipulasi data. Ini terdapat dalam Pasal 94. Kemudian, Pasal 95A juga mengatur tentang sanksi pidana terhadap tindakan menyebarluaskan data pribadi tanpa hak.
“Pasal-pasal tersebut mestinya dielaborasi, apakah dapat diterapkan pada pencatutan nama dan data warga sebagai anggota parpol?” ujarnya.
Titi mengatakan, elaborasi penting dilakukan antara para pemangku kepentingan. Pasalnya, pencatutan NIK merupakan praktik berulang yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas dan memberi efek jera.
Selain itu, hal tersebut mengindikasikan juga adanya pencurian dan penyalahgunaan data pribadi warga yang sangat merugikan sekaligus merugikan mereka yang dicatut tersebut.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhanil beranggapan, hal yang paling utama soal masalah ini bukan sanksi pidananya saja. Tapi membuka kepada publik, parpol-parpol yang melakukan pencatutan itu dan di mana saja mereka melakukan pencatutan.
“Lalu tindak lanjut dari pencatutan itu adalah mengurangi jumlah keanggotaan yg didaftarkan parpol ke Sipol KPU. Itu jauh lebih penting menurut saya daripada menarik persoalan ini ke ranah pidana,” katanya.
Ia mengatakan, membuka daftar parpol yang melakukan pencatutan NIK penting karena publik pada akhirnya dapat menilai tindak-tanduk parpol dan menjadi bahan ketika pemilihan tiba.
Selain itu, keterbukaan kepada publik juga dinilainya penting karena terkait soal akuntabilitas KPU dalam bekerja.
Sebelumnya, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, pihaknya memiliki hak untuk memberikan informasi kepada polisi bila ditemukan adanya dugaan pencatutan identitas kependudukan secara ilegal oleh partai politik.
Hal ini terkait temuan “Bukan kami (yang menindak), bukan Bawaslu. Teman-teman kepolisian yang punya hak itu,” tuturnya kepada wartawan, belum lama ini.
Bagja mengatakan, pihaknya kini tengah melakukan penelusuran atas laporan-laporan yang masuk tentang pencatutan NIK. Posko aduan pun sebelumnya telah diinstruksikan agar diadakan di daerah-daerah.