Bogor Times-Jilbab adalah keberanian di tengah hari-hari sangat menakutkan.
Jilbab adalah percikan cahaya di tengah-tengah kegelapan.
Jilbab adalah kejujuran di tengah kelicikan.
Jilbab adalah kelembutan di tengah kekasaran dan kebrutalan.
Jilbab adalah kebersahajaan di tengah kemunafikan.
Jillbab adalah perlindungan di tengah sergapan-sergapan.
(Emha Ainun Najib)
Itulah penggalan syair dalam puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib, biasa disapa Cak Nun atau Mbah Nun. Puisi ini sangat melegenda. Bukan hanya karena saat dipentaskan penontonnya terbesar dan tak tertandingi hingga kini, tapi juga latar belakang lahir atau terciptanya puisi itu.
Dalam sebuah sumber, pementasan Lautan Jilbab disaksikan sedikitnya 3000 penonton. Tapi yang lebih dari itu, puisi Lautan Jilbab dinilai mampu “merumuskan semangat zaman”, dan piawai membaca “tanda-tanda zaman”.
Baca Juga: Jilbab Bercadar Menururt 4 Madzhab
Perlu di ketahui, pada akhir tahun 1980-an, masalah jilbab bukan hanya masalah masyarakat Indonesia, tetapi juga menjadi masalah masyarakat dunia. Waktu itu, di Perancis dan Inggris, sejumlah siswi dilarang masuh sekolah karena mengenakan jilbab. Di Indonesia terjadi perdebatan yang hangat apakah pelajar Indonesia boleh atau tidak mengenakan jilbab ketika di sekolah.
Dengan kebijakan politik nasional yang kelam dan internasional yang demikian itu, maraknya kaum perempuan yang tampil di ruang publik memakai jilbab atau sekedar menggunakan kain yang menutupi rambut dan kepalanya adalah sebuah fenomena yang dahsyat pada waktu itu. Inilah antara lain yang menginspirasi lahirnya puisi ‘Lautan Jilbab’. Sebagaimana diakui Cak Nun dalam satu kesempatan.
Konon, untuk kasus Indonesia dipentaskannya puisi Lautan Jilbab oleh Jama’ah Masjid Shalahuddin Universitas Gajah Mada (UGM), telah mengubah peta perempuan di Indonesia. Plus, ada yang berpendapat, jilbab yang menemukan momentum puncaknya pada pertengahan tahun 1990-an, tidak lepas dari peran Cak Nun yang keliling Indonesia mementaskan Lautan Jilbab. Sejak saat itu, jilbab bukan lagi sebagai “barang” yang menakutkan.
Baca Juga: Deretan Fakta di Balik Hari Solidaritas Jilbab Internasional
Oleh Cak Nun, jilbab yang dikenakan oleh muslimah tidaklah sekedar selembar kain, tapi juga sebuah perlawanan. Jilbab telah menjadi petanda lahirnya sebuah gerakan. Simak kutipan syairnya dibawah ini;
Para malaikat Allah tak bertelinga,
Tapi mereka mendengar suara nyanyian beribu-ribu jilbab.
Para nalaikat Allah tak memiliki mata,
Tapi mereka menyaksikan derap langkah beribu jilbab.
Para malaikat Allah tak punya jantung, api sanggup mereka rasakan degub kebangkitan jilbab yang seolah berasal dari dasar bumi.
Para malaikat Allah tak memiliki bahasa dan budaya,
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.