Bogor Times- Pengakuan, ya pengakuan menjadi impian era melenial. Demi sebuah pengakuan, tak jarang seseorang harus lari dari kenyataan dirinya.
Demi sebuah kata sakral “pengakuan”, seseorang rela menyembunyikan identitas dirinya, kemudian mengemasnya dengan baju anomali yang indah. Penyakit ini sudah mulai menjangkiti banyak sisi kehidupan.
Ada pejabat yang biasa hidup glamour dengan segudang fasilitas. Tapi untuk sebuah pengakuan, ia memainkan peran yang kontradiksi dengan kenyataan. Ia bungkus dirinya dengan baju populis, bicara kerakyatan, atribut kesederhanaan, menyuguhkan kepekaan sosial.
Baca Juga: Ahmad Dhani Beberkan Cerita Napi Pelecehan Seksual didalam Penjara dan Mengapa Saipul Jamil tak Mengalaminya?
Ada sosok yang terbiasa feodal, tapi ia mendesain dirinya dengan karakter terbuka, suka kritikan, terbiasa dengan retorika demokratis. Ini tentu sangat jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Tidak jarang orang yang jauh dari agama, pemahaman yang dangkal, bahkan kadangkala untuk sekedar membaca al-Qur’an saja jauh dari kata layak. Jangankan menguasai makna teks keagamaan, untuk sekedar mengurai kata dasar bahasa Arab (yang dalam dunia pesantren dikenal dengan tashrifan) saja tidak bisa. Hatta pada level tashrif untuk pemula.
Tapi untuk lari dari kenyataan dirinya, ia bungkus dengan bahasa-bahasa keagamaan yang membuai. Hijrah, syar’ie, sunnah, imamah-khilafah dan lain-lainnya begitu deras meluncur dari setiap kata-katanya.
Baca Juga: Aurel Diam-diam Menghilang Kerumah Sakit Temui Baby Aurel
Inilah penyakit Mythomania, penyakit yang perkenalkan pertama kali oleh seorang psikiater bernama Ferdinand Dupre tahun 1905. Penyakit dimana seseorang lari dan bersembunyi dari kenyataan dirinya hanya untuk sebuah pengakuan.
Dalam tulisan yang saya daur ulang dari tulisana lama saya ini, coba membaca peta Muktamar NU yang akan digelar 23-25 Desember tahun ini.
Dari Muktamar ke Muktamar, pemilihan Ketua Umum dan Rais Am mengalir bak air pegunungan yang menyejukkan. Dinamika pasti ada. Namun dinamika yang muncul tidak sampai keluar dari tradisi NU yang mengedepankan adab "santri-kyai"
Baca Juga: Bulan Safar Bertanda Kesialan dan Banyak Ujian. Apakah Benar? Simak Artikel ini
Menjelang perhelatan akbar NU ini ada yang baru dan unik yaitu munculnya pooling calon ketua umum atau yang biasa dikenal ketua tanfidz. Polling ini tidak pernah populer disetiap muktamar NU bahkan dianggap tabu untuk organisasi terbesar di dunia ini.
Salahkah? Tidak salah, dan ini menjadi wajah baru dalam perhelatan muktamar selama nama-nama yang muncul merupakan kyai yang dikenal kapasitasnya, kompetensinya dan khidmatnya, yang justru harus diantisipasi oleh kalangan nahdliyin adalah masuknya penyakit mythomania kedalam beberapa orang, kemudian memanfaatkan pooling untuk kepentingan dirinya. Ini akan merusak marwah NU.
Bagaimana dengan Rais Am..? Sejak Muktamar Jombang, pemilihan Rais Am dilakukan oleh Ahwa yang terdiri dari 9 kyai sepuh alim dan waro. Namun ada pandangan dan masukan dari Kyai Imam Jazuli pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon untuk mempertimbangkan Ketua Tanfidz demisioner untuk ditunjuk sebagai Rais Am.Ini dianggap selaras dengan prinsip al-muhafadzah alal qodimis sholeh wal akhdzu bil jadidil ashlah.
Persoalannya adalah, Rais Am merupakan pimpinan tertinggi harian NU. Rais Am juga akan memimpin para kyai sepuh yang terpilih dijajaran suriah sekaligus personifikasi pemimpin seluruh kyai yang bernaung didalam wadah NU. Kriteria ini yang mungkin akan menjadi ganjalan bagi anggota Ahwa mengingat polarisasi tanfidziyah dan suriah yang selama ini sudah ada.***(Khotimi Bahri/Wakil Katib Suriah PCNU Kota Bogor dan Pembina PC LBMNU)
Artikel Terkait
Ditunjuk Kemedikbud, SMA Puspa Bangsa, Desa Cibadak, Gelar Uji Coba ANBK
Menyambut PTM, Yayasan Pendidikan Muhammadiyah Parung Gelar Vaksinasi untuk Siswa Siswi
Hendak Bunuh Selingkuhan Istri?, Wajib Tau Kisah Kiai Bijak Ini
Bulan Safar Bertanda Kesialan dan Banyak Ujian. Apakah Benar? Simak Artikel ini
BEM SI Kembali Demo KPK. Polri Lakukan Rekayasa Lalin Cegah Kemacetan.