Bogor Times - Lalu Muhammad Zohri, pelari tercepat di dunia yang berhasil membawa pulang emas dalam kejuaraan dunia International Association of Athletics Federations (IAAF) U20, di Tampere, Finlandia, pada 11 Juli 2018. Dua siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Sumatera Selatan meraih penghargaan pada final kompetisi matematika pelajar tingkat dunia di Seoul, Korea Selatan, 14-17 Juli 2018.
Lauhin Mahfudz, mahasiswa kelahiran Aceh Tengah, mengukir sejarah dan mengharumkan nama Indonesia dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat Internasional. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi menawari beasiswa S2 kepada Rifdah Farnidah yang merupakan penghafal Al-Qur’an yang baru saja meraih peringkat 2 Musabaqah Hifzhil Qur’an (MHQ) di Amman, Yordania.
Sebelum meraih prestasi Internasional, Rifdah merupakan juara 1 MTQ tingkat nasional golongan 5 juz di Kalimantan Barat 2012, juara 1 MTQ Nasional golongan 10 juz di Nusa Tenggara Barat 2016 dan juara 1 MTQ Nasional golongan 30 juz di Kalimantan Barat 2017.
Prestasi yang diraih anak-anak bangsa ini tentu sangat membanggakan. Tetapi satu hal yang tidak boleh kita lupakan yaitu cara pandang kita terhadap hakikat prestasi itu sendiri. Para pemuda dan kita sebagai pendidik khususnya haruslah melihat hakikat prestasi itu dari sudut pandang (worldview) agama kita yaitu Islam.
Baca Juga: Hadapi Persija Jakarta, Persib Bandung Dapat Dukungan Dari Michael Essien
Hal ini penting, agar kita tidak terjebak dengan apa yang disebut diploma disease, di mana keberhasilan itu hanya diukur dengan angka-angka.
Konsepsi Islam adalah keseimbangan antara prestasi dunia dan akhirat. Bahkan prestasi dunia adalah untuk prestasi di akhirat. Sebagaimana Isyarat Allah dalam Al-Qur’an, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi… (Q.S. Al-Qashash: 77).
Kata “carilah” dan “jangan lupakan” menunjukkan bahwa kepentingan akhirat jauh lebih penting dari pada kepentingan dunia. Berbeda dengan pandangan Barat, prestasi hanya diukur dari hasil yang nampak. Jika Nampak hasilnya adalah prestasi, jika tidak terwujud sesuai harapan, target dan sasaran maka disebut dengan gagal, tidak berprestasi.
Baca Juga: Demi Gagalkan Demo Mahasiswa, Pihak PT Jaya Semanggi Engineering Ancam Bawa Tentara
Pandangan seperti ini sangat membahayakan, terutama dari sisi psikologis. Jadi prestasi dalam pandangan psikologi Islam adalah jika prestasi itu diniatkan, diproses dan didapatkan dengan tetap menjaga nilai-nilai agama. Prestasi yang hakiki dalam Islam tidak hanya pada puncak pencapaian (the end process of pipe). Niat benar, cara pun benar, tidak bertentangan dengan nilai, maka saat itu juga sudah bernilai prestasi.
Karena ketika itu pula Allah memberikan balasan atas segala usahanya, sekecil apapun. Jika setiap amal perbuatan nya adalah based on karena Allah, maka sudah masuk dalam ranah amal prestasi hakiki. Wallahu a’lam bi al shawwāb.
Artikel ini di buat oleh : Muhamad Sofian, M.Pd.***
Artikel Terkait
Sigmund Freud Pakar Psikoanalisis yang di Kritik Muridnya Sendiri, Erich Fromm
Reformasi Khittah Berkaca Pada Perjalanan NU Dalam Kurun Waktu Satu Abad
Dukung Permendikbud PPKS : Kampus Menjadi Ruang Belajar Yang Aman, Bukan Ruang Relasi Kuasa Mahasiswa - Dosen
Lima Sebab dan Tiga Cara Menuntut Ilmu
Islam Dan Nasionalisme