Bogor Times-Pada era 5.0 seperti saat ini, salah satu akar terjadinya terorisme di negeri ini adalah faktor radikalisme agama yang tumbuh dan mendapatkan posisi di sebagian masyarakat.
Selain radikalisme agama, aksi terorisme juga berisiko muncul diakibatkan oleh gesekan-gesekan lainnya, seperti antipersatuan dan separatisme.
Menyikapi hal itu, kata dia, pihaknya sangat berharap, elemen masyarakat harus senantiasa mengingat bahwa warga yang berada di Indonesia hidup di Indonesia. "Harus senantiasa bersikap tenggang rasa dan berpikiran terbuka, maka akar dari radikalisme tidak akan mudah mempengaruhi kita," ujarnya.
Baca Juga: Cuaca Panas Untungkan Formula E
Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh itu, menegaskan hendaknya Pemerintah juga perlu menjadi penggerak dalam pembangunan persatuan dan kesejahteraan bangsa. Hal itu akan menghindari masyarakat Indonesia dari ancaman radikalisme yang memanfaatkan celah-celah ketidakadilan yang berujung pada munculnya tindakan terorisme.
"Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah bagi masyarakat terutama generasi muda. Penyebaran paham radikal sudah sampai pada generasi muda yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi dan umumnya berasal dari pondok pesantren atau dayah," ulasnya.
Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh itu mengatakan penyebaran paham radikal di tingkat perguruan tinggi sangat marak. Kebanyakan dari generasi muda yang terjerumus oleh paham-paham radikal saat masih bersekolah kurang dibekali pengetahuan keagamaan dan rasa cinta tanah air, sehingga mudah direkrut untuk dijadikan anggota kelompok jaringan terorisme.
Baca Juga: Menko: Perekonomian Indonsia Tumbuh, Ini Indikatornya
"Terbukti dari data yang diperoleh BNPT, berdasarkan riset terhadap 110 pelaku tindakan terorisme, paling banyak ada di rentang usia 21-30 tahun mencapai 47,3 persen dan yang berusia di bawah 21 tahun sebanyak 11,8 persen.
Prof Misri menyebutkan munculnya radikalisme di era millenial yang melahirkan terorisme salah satu fenomena yang harus dihindari dan dicegah dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kita ketahui kelahiran Islam ribuan abad silam bahkan tidak diwarnai dengan pedang, melainkan Islam membawa pesan-pesan perdamaian yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Di satu sisi juga melabelkan bahwa radikalisme sebagai pemahaman yang sangat negatif.
"Ada dua hal utama yang dapat disimpulkan. Pertama, bahwa media internet mengambil porsi dan peranan yang sangat besar dalam memberikan informasi kepada publik, terutama kaum muda akan ideologi radikal. Hal in diperparah dengan fakta bahwa perekrutan kaum muda dalam organisasi-organisasi radikal banyak dilakukan dengan menggunakan media internet," paparnya.
Baca Juga: Sejarah Malam Jumat, Sisi Lain Manusia dan Keangkuhan
Lebih lanjut, Prof Misri menambahkan bahwa fakta bahwa organisasi terorisme dan yang terafiliasi dengannya organisasi terorisme telah memanfaatkan teknologi yang dapat memudahkan mereka menyebarkan propaganda dan merekrut anggota potensialnya melalui internet. Hal ini adalah hal yang sangat miris dari kemajuan media massa itu sendiri.
Kedua, media massa memegang peran kunci dalam menangkal dan memberikan informasi ke publik terhadap isu-isu radikalisme sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan berkembangnya gerakan-gerakan ekstrimis dimulai dari lingkungannya sendiri.
Prof Misri sangat berharap peran semua pihak baik keluarga, masyarakat, dayah, sekolah, perguruan tinggi dan lainnya, meskipun pada dasarnya, Indonesia adalah negara Islam moderat dan radikalisme sulit berkembang di negeri ini, namun bukan berarti Indonesia tidak luput sebagai target bagi mereka, terutama generasi muda.***