Bogor Times- Ketika pada masa orang-orang Islam belum mengenai tradisi lain di luar Islam, maka yang muncul dalam ilmu Nahwu awal adalah sangat murni Arab. Namun keadaan mulai menjadi lain ketika para filosof Islam belajar filsafat Yunani melalui karya-karya terjemahan dalam bahasa Suryani.
Perlu diketahui bahwa terjemahan filsafat Yunani dalam bahasa Suryani sangat melimpah di Iraq pada masa itu dan bahasa inilah yang menjembatani para filosof Islam belajar tentang Yunani. Lalu siapa peletak dasarnya?
Masalah ini menjadi bahasan yang panjang lebar terleoas dari filsafat Yunani, di kalangan para sejarahwan Nahwu seperti Ibn Ṣalām dalam Ṭabaqāt al-shuʿara’, Ibn Qutaybah dalam al-Maʿārif, al-Zujājī dalam al-Amālī, Abū Ṭayyib al-Lughawī dalam Marātib al-naḥwiyyin, al-Sayrafī dalam al-Akhbār al-naḥwiyyin al-baṣriyyin, al-Zabidī dalam al-Ṭabaqāt, Ibn Nadīm dalam al-Fahrasat, al-Anbārī dalam Nuzhat al-albā dan al-Qafṭī dalam Inbā al-ruwwa.
Mereka semua berpendapat jika peletak dasar pertama ilmu ini adalah Imam Ali karamma l-lāhu wajhahu dan Abū al-Aswad ad-Du’alī. Peneguhan Imam Ali sebagai pelatak dasar ilmu Nahwu justru berasal dari riwayat Abū Aswad al-Du’alī dimana menurutnya Imam Ali memberikan kata kunci pertama tentang ilmu Nahwu misalnya yang terakit dengan riwayat Imam Ali yang menyatakan jika kalam itu ada tiga isim, fiʿil dan huruf.
Ad-Dua’lī juga bercerita bahwa Sayyidina Ali lah yang membagi kata benda (nama) menjadi tiga; kata benda lahir (ẓāhir), kata benda tidak lahir (ẓāmir) dan kata benda yang bukan keduanya. Selain Ali, ada juga yang berpandangan jika ilmu Nahwu ditemukan oleh ʿAbdur Raḥmān b. Hurmuz al-Aʿraj dan Naṣr b. ʿĀṣim.
Namun menurut mayoritas sejarahwan pendapat ini dipandang lemah. Sejarah yang benar adalah setelah Imam Ali, Nahwi dikembangkan oleh Abu al-Aswad ad-Du’alī. Al-Anbārī dan az-Zujāzī meneguhkan ad-Duʿali sebagai pelatak dasar ilmu ini setelah Imam Ali karena dialah yang mentransmisikan hal ini dari Imam Ali.
Sudah menjadi kesepakatan di kalangan ulama Nahwu jika ad-Du’alī lah yang pertama memberikan harakat pada mushaf al-Qur’an. Kebenaran ini hampir tidak bisa kita pungkiri sebab hampir semua generasi salaf dan juga khalaf tidak mempermasalahkannya. Namun demikian, ilmu baru diberikan dengan nama sebagai ilmu Nahwu justru sepeninggal ad-Du’alī. Pada masa dia, nama ilmu Nahwu adalah al-̵ʿArabiyya. Ibn Ḥajar dalam kitabnya al-Iṣābah menyatakan, “awwalu man ḍabaṭa al-muṣhaf wa waḍaʿa al-ʿarabiyyata Abū al-Aswad,” pertama kali orang yang memberi harakat pada mushaf dan yang meletakkan al-ʿarabiyya adalah Abū al-Aswad.
Setelah adl-Du’alī mangkat, maka nama untuk al-ʿarabiyyata digantikan dengan Nahwu. Namun demikian, istilah Nahwu diambil dari pernyataan Abū al-Aswad di depan Imam Ali.
Jika kita bicara ilmu Nahwu, maka sama saja kita membicarakan suatu aliran pemikiran yang sangat penting dalam ini ini yaitu madzhab Baṣrah.
Berbicara tentang madzhab Baṣrah sama dengan berbicara tentang upaya pengharakatan al-Qur’an untuk yang pertama kalinya. Ilmu Nahwu yang sekarang ini banyak dipelajari dan dibaca di seluruh dunia termasuk pesantren-pesantren di Indonesia adalah lahir dan berkembang di Baṣrah.
Para ahli sepakat bahwa kemunculan cabang ilmu ini adalah untuk melindungi al-Qur’an dari cara pembacaan yang salah. Ingat bahwa al-Qur’an pada awal-awal bukan seperti al-Qur’an yang kita nikmati sekarang, ada harakatnya lengkap. Al-Qur’an pada masa itu adalah gundul, tak bertanda baca.
Bagi para tābiīn (secara bahasa pengikut sahabat) dan tābiʿit tābiʿīn (secara bahasa berarti pengikutnya tabiʿīn) yang sudah ḥāmil al-Qur’ān (hafal al-Qur’an) tiadanya tanda baca dalam al-Qur’an tidak masalah, namun bagi mereka yang tidak hafal, maka tanda baca sangat diperlukan di sini. Abū Asʿad adl-Dualī adalah pembangun awal ilmu yang disebut nahwu ini. Ad-Duʿalī mengambil inspirasi dari Sayyida Ali (r.a).
Ad-Duʿalī berkata, “Jika engkau benar-benar telah melihat mulutkan membaca fathah, maka kasihlah tanda baca fatḥah di atasnya, jika mulutku sudah membaca ḍammah, maka kasihlah tanda baca ḍammah di atasnya, jika mulutku membaca kasrah, maka kasihlah tanda baca kasrah di bawahnya (Dikutip dari Ibn al-Naẓīm, al-Fahrasat, h. 59). Dalam perkembangannya, menurut Prof. Abduh al-Rajihi dalam kitabnya, Durūs fīl-Madhāhib al-Nahwiyyah, dikatakan bahwa ternyata apa yang dilakukan oleh ad-Du’alī tidak hanya berguna untuk menjaga al-Qur’an dari “kesalahan gramatik” dari para pembaca dan penghafalnya, namun memiliki implikasi yang lebih jauh, yakni untuk mencapai prinsip-prinsip Islam yang paling mendalam (h. 10).
Jika halnya yang demikian, mari kita mengingat kembali ilmu ini dan menggunakannya untuk membaca Islam –al-Qur’an, Sunnah dan turast. Sebagaimana yang disebutkan tentang peran Abu al-Awad ad-Du’alī; dimana ilmu Nahwu sudah berkembang tidak hanya menjaga kebenaran cara membaca al-Qur’an, kemudian ilmu ini tumbuh untuk memahami al-Qur’an.