Bogor Times-Penjelasan kali ini masih pada penjelasan yang mengarah pada pemahaman sejarah Ilmu Nahwu dan kaitan dengan persoalan syariah serta ilmu agama. Diawali dari cerita ulama yang terkenal bernama Ibn Qutaybah. Al kisah, ulama ini pernah mendengar orang pedalaman Arab azan dimana dia membaca nasab (fathah) pada lafal “rasūla,”dari kalimat komplit, “ashhadu anna muhammadar rasūlallāh.
Kisah ulama Ibnu Qutaybah itu sekadar contoh dari sekian banyak riwayat-riwayat lain yang menceritakan mengapa tata bahasa Arab (ilmu Nahwu) itu sudah menjadi perhatian sejak zaman Rasulullah masih hidup. Tentunya itu berkaitan dengan ilmu agama serta syarat utama dalam pengkajian persoalan syariah.
Dalam beberapa literasi dijelaskan. Dunia Arab sebelum al-Qur’an turun sudah mencapai kemajuannya dalam bidang sastra meskipun belum ada ilmu nahwu secara teori dan agama islam apa lagi persoalan syariah Islam.
Baca Juga: Musik Haram, Musisi Afganistan Dibunuh Kelompok TalibanBaca Juga: Hari Selasa, Waktu Yang Diharapkan Almaghfurlah KH Maimoen Zubair Tutup Usia
Baca Juga: Deretan Wafatnya Manusia Terpilih di Hari Selasa, Kalangan Ulama, Nabi dan Istri Rosulullah
Karenanya, al-laḥn di sini tidak identik dengan kemajuan sastrawi itu, tapi dengan keharusan berbahasa Arab secara benar, berdasarkan hukum-hukum dasar bahasa yang disepakati.
Para sahabat Nabi merasa prihatin dengan al-laḥn ini karena dampaknya bisa merusak ajaran Islam.
Dengan demikian, ilmu nahwu berdasarkan riwayat-riwayat yang diungkapkan pada penjelasan sebelumnya menunjukan sudah muncul pada masa awal-awal sejarah Islam.
Iraq adalah kawasan dimana ilmu nahwu mulai menemukan identitasnya yang agak jelas. Dari Iraq kemudian berkembang ke kawasan lain sesuai dengan perkembangan Islam sebagai agama baru pada saat itu.
Lalu bagaimana kongkritnya tema-tema nahwu itu disusun?
Pendapat tentang hal ini di kalangan sejarahwan Nahwu terbelah ke dalam dua kelompok.
Pertama, mereka yang berpandangan jika tema-tema nahwu itu dibentuk dari peristiwa-peristiwa kesalahan gramatika masyarakat Arab sendiri.
Dari peristiwa-peristiwa al-laḥn ini kemudian berkembang pada tema-tema bahasan lain. Pendapat demikian adalah yang dipegang oleh kalangan mayoritas ulama nahwu.
Kedua, mereka yang berpandangan jika tema-tema awal nahwu itu dibangun atas dasar pemikiran (istinbāt), bukan atas dasar kesalahan gramatik yang terjadi di lapangan.
Bahan dasarnya adalah prinsip-prinsip umum berbahasa untuk menolak terjadinya kesalahan gramatik di kalangan masyarakat Arab saat itu.
Meskipun golongan kedua ini agak siantifik, namun tidak kuat riwayatnya. Berdasarkan dua hal ini maka sejarah pembentukan ilmu Nahwu berasal dari kawasan Arab.
Hal ini sekaligus juga untuk membantah beberapa pendapat para pemikir Eropa yang menyatakan jika ilmu nahwu terbentuk setelah ada persentuhan dengan tradisi Syiriac (Suryani) dan Yunani. Para pemikir Eropa berpendapat demikian karena Iraq adalah dimana Islam bertemu dengan peradaban lain.
Namun demikian, adakah mungkin sebuah ilmu muncul tanpa keterpengaruhan atau proses interaksi dengan tradisi lain? Di sinilah kemudian muncul pendapat tengah yang menyatakan jika benar sejarah nahwu mulai dari Iraq, murni dari kalangan Islam, namun kemudian berdealektika dengan tradisi lain.
Disusun di Iraq, lalu dikembangkan definisi-definisi, lalu bersentuhan dengan budaya bahasa negara lain. Ketika pada masa orang-orang Islam belum mengenai tradisi lain di luar Islam, maka yang muncul dalam ilmu Nahwu awal adalah sangat murni Arab. Namun keadaan mulai menjadi lain ketika para filosof Islam belajar filsafat Yunani melalui karya-karya terjemahan dalam bahasa Suryani. Perlu diketahui bahwa terjemahan filsafat Yunani dalam bahasa Suryani sangat melimpah di Iraq pada masa itu dan bahasa inilah yang menjembatani para filosof Islam belajar tentang Yunani.